Oleh: Halimson Redis
GURU swasta kembali menangis meratapi nasib, mendengar Presiden Jokowi mengumumkan kenaikan gaji PNS 8% untuk mendorong peningkatan kinerja dan daya beli (Pidato Pengantar APBN Tanggal 16 Agustus 2023).
Guru PNS begitu mendapat perhatian besar, tapi Guru Swasta harus “meminta-minta” dengan yayasan yang berujung diancam kehilangan Jam Mengajar.
Maju Kena Mundur Kena, itulah bukti ketidakberdayaan guru swasta. Sulit memang, dan pada akhirnya hanya bisa pasrah atas ketidakberdayaan tersebut.
Bagi guru swasta, setiap berangkat sekolah hati selalu galau dan sedih karena ongkos ke sekolah harus mengambil uang dapur. Hati pilu sedikit terobati ketika sampai di depan pintu gerbang disambut siswa-siswi yang lucu-lucu. Senyum turut merekah menerima sambutan lucu siswa-siswi meskipun uang yang didapat tidak seberapa, sedangkan yayasan yang menaungi sekolah swasta sangat kesulitan menaikkan gaji gurunya, karena jumlah siswa baru yang diterima terus merosot dan tergerus oleh sistem zonasi karena sekolah negeri diberi keleluasaan untuk menambah Rombel.
Dampak sistem Zonasi sangat dirasakan oleh sekolah swasta, sementara pemasukan yayasan hanya bersumber dari SPP siswanya. Oleh karena itu, ketika Pemerintah menaikkan Gaji PNS yang berdampak langsung kepada Guru PNS, maka Pemerintah sudah melukai guru-guru Swasta. Adilkah?
Jika kita kaji dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 3, disebutkan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk penyelenggaraan Pendidikan Nasional. “Amanah Penyelenggaraan Pendidikan Nasional” tidak memberikan dikotomi status negeri dan swasta dalam penyediaan akses pendidikan bagi warga negaranya. Bahkan Pasal 28D Ayat 2 mengharuskan setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Oleh karena itu, ketidakmampuan yayasan memenuhi hak warga negara yang dilindungi Konstitusi harus diambil alih oleh Pemerintah. Pemerintah tidak boleh abai dengan keberadaan guru swasta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari 3.37 juta guru di bawah Kemendikbudristek tahun 2023, terdapat 30,3% adalah guru swasta. Bahkan guru swasta di bawah naungan Kemenag mencapai 83,7%. Asumsinya jumlah guru swasta secara nasional, jumlah guru swasta mencapai 41.8% dari 4,3 juta guru swasta yang menjadi tanggung jawab pemerintah.
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru swasta, diindikasikan menjadi penyebab utama profesi guru paling banyak terjerat pinjaman online (pinjol), yakni 42% dibandingkan korban PHK atau profesi lainnya (Kompas.id, 10/10/2022).
Menyikapi kondisi ini, negara harus segera mengambil alih tanggung jawab kesejahteraan guru dan keluarganya. Karena berdasarkan rekomendasi ILO/UNESCO tertanggal 5 Oktober 1966 (Hari Guru Internasional) dikenal dengan, “Recommendation Concerning The Status of Teachers”. ILO/Unesco memandang pentingnya memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anak dimanapun, karena pendidikan adalah hak universal setiap manusia.
Dalam rekomendasi tersebut, guru berperan penting dalam upaya mewujudkan pendidikan terbaik bagi anak-anak bangsa. Peran penting ini dapat diwujudkan jika para guru memperoleh perhatian untuk dapat melaksanakan tugas, kewajiban, dan tanggung jawabnya. Karena itulah negara wajib melaksanakan rekomendasi ILO/UNESCO yang sejalan dengan amanah UUD 1945 dan amanah UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Dalam penjelasannya UU tentang Guru dan Dosen pada butir pertama, bahwa Pemerintah berkewajiban Mengangkat Martabat dan kedua Menjamin hak-hak dan Kewajiban Guru. Jika kita kaji UU ini, maka Pemerintah berkewajiban menjamin kesejahteraan guru-gurunya, termasuk guru swasta. Karena guru sebagai tenaga profesional berfungsi sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Penting bagi pemerintah untuk menghilangkan dikotomi status guru; PNS dan Non PNS (Swasta). Seharusnya Presiden Jokowi melihat guru dalam perspektif Nasional, bukan perspektif kepegawaian.
Status Guru terlalu beragam. Di negara yang berbasis keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia seharusnya tidak ditemukan lagi dikotomi guru PNS, Non PNS, Honorer, dan Guru Bantu karena fungsi guru adalah sama yaitu mendidik dan membentuk karakter anak bangsa. Itulah sebabnya, hak-hak guru harus dipenuhi tanpa diskriminasi. Tugas mulia guru dalam menjalankan tugas untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya demi mewujudkan pendidikan bermutu bagi anak-anak bangsa.
Pemerintah ada baiknya belajar dengan masa Presiden Soeharto dalam menyelesaikan masalah Pendidikan Nasional. Pada awal Tahun 1980-an Presiden Suharto membuat kebijakan one village one school dalam Program “Sekolah Inpres,” dan semua guru diangkat sebagai PNS dan dikirim ke pelosok desa, begitu pula guru-guru di sekolah yang ada di perkotaan, semua ditetapkan sebagai guru PNS yang bertugas di sekolah swasta.
Hal ini masih saya jumpai, ketika melaksanakan Monitoring dan Evaluasi (Monev) POP FGII ke Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Provinsi Maluku pada Juli 2023 lalu. Saat itu saya menjumpai guru-guru di sekolah swasta (SMP Kristen Saumlaki) yang berstatus PNS. Temuan yang cukup mengagetkan bagi kami, karena guru-guru swasta di daerah ini walaupun mereka berstatus PNS, tapi tetap di bawah naungan Yayasan.
Selain itu, saya juga menemukan bahwa ada bentuk pembagian tanggung jawab; penyediaan sarpras disediakan Yayasan, sedangkan urusan kesejahteraan guru mutlak urusan pemerintah. Jika di Provinsi Maluku bisa, berarti di provinsi lain pun pasti bisa. Kenyataan ini, menunjukan pemerintah “Mampu” mengangkat guru swasta menjadi PNS.
Dengan Anggaran Pendidikan Tahun 2023 yang mencapai Rp. 608,3 T (Kemenkeu), dengan alokasi APBN 20% untuk pendidikan, pemerintah pasti bisa. Tapi sayang pemerintah belum memiliki good will untuk membuat kebijakan pendidikan yang humanistis. Jika dilihat berdasarkan alokasi tunjangan profesi bagi 556,9 juta guru swasta (Non PNS) sebagai belanja negara, belum sepenuhnya menyentuh guru-guru swasta bersertifikat profesi. Terutama guru-guru swasta di sekolah SPK yang telah memiliki sertifikasi Profesi, tidak diterbitkan SK TPG-nya, sejak 2019. Padahal mereka termasuk dalam 556,9 guru non PNS yang memilki sertifikat pendidikan.
Lebih menyedihkan, kenyataan pahit dialami salah satu guru SMA PGRI di Jepara (teman kami) Siti Rokhatiningsi. Ibu Guru Siti Rokhatiningsi yang mengajar lebih 24 jam per Minggu (Pasal 35) hanya mendapat gaji Rp. 460 ribu per bulan dari Yayasan padahal dia sudah memiliki Sertifikat Profesi, tapi hingga saat ini belum menerima TGP karena SK TPG belum terbit. Kasus Ibu Siti juga banyak dirasakan teman-teman guru lainya. Kasus pembayaran TPG yang tidak sesuai inpassing dan hanya dianggap Golongan III A dengan 0 (nol) pengalaman, padahal mereka memiliki pengalaman mengajar lebih 10 tahun.
Sekian banyak kasus guru swasta mewarnai pendidikan Nasional yang tidak pernah terselesaikan dengan kebijakan yang adil dan beradab. Guru swasta masih harus berjuang sendiri untuk mendapatkan hak-haknya yang diamanahkan UU Guru dan Dosen.
Sertifikat Profesi merupakan bentuk pengakuan seorang guru sebagai guru professional dalam mengajar mata pelajaran tertentu, sehingga harus memiliki nilai tambah bagi setiap guru yang sudah mendapat pengakuan tersebut berupa penghargaan bagi setiap guru, material maupun immaterial, sesuai amanah Pasal 14 UU Guru dan Dosen sebagai jaminan peningkatan martabat guru.
Pemerintah harus menyadari keberadaan 41,8% guru swasta merupakan kepedulian masyarakat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa karena pemerintah tidak mampu menyediakan guru dari Sabang sampai Merauke untuk memenuhi hak pendidikan warga negaranya. Kepedulian masyarakat bukan untuk diabaikan, tapi harus diapresiasi, berupa pengakuan dan peningkatan martabat guru tanpa diskriminasi. Apa jadinya jika 41,8% guru swasta tidak mau mengajar kembali? Negara pasti kacau!
Bung Karno, mengingatkan kepada kita, bahwa “Selama guru masih ada peradaban manusia tidak akan hancur.” Artinya kemajuan dan perkembangan peradaban kehidupan suatu tatanan masyarakat berada di tangan guru. Jika guru tidak ada maka suatu bangsa akan hancur dan tertinggal oleh kemajuan bangsa lain. Inikah yang diinginkan Pemerintah untuk mewujudkan Indonesia Emas Tahun 2045?
Sebab hingga akhir masa pemerintahan Jokowi, Pemerintah belum memiliki good will untuk melaksanakan UU Guru dan Dosen. Semestinya, kasus Ibu Siti dan guru lainnya menjadi perhatian. Jika hal ini terjadi di Maluku mungkin bisa selesai karena akan diangkat PNS oleh pemerintah. Mungkin sebaiknya guru-guru swasta pindah mengajar ke Maluku agar lebih bermartabat. Pengalaman praktik baik penyelenggaraan pendidikan di Provinsi Maluku harus menjadi momentum bagi Pemerintah Pusat untuk melakukan berbagi tanggung jawab bersama Yayasan.
Perhatian pemerintah sangat diharapkan dalam peningkatan kesejahteraan guru dalam bentuk kesetaraan penghasilan dengan menghilangkan diferensiasi status guru. Pemerintah harus meninjau kembali kemampuan Yayasan untuk memberi kesejahteraan minimum guru, agar guru-guru Indonesia lebih sejahtera dan bermartabat.
Untuk mewujudkan hal ini, negara harus segera mengambil alih kesejahteraan guru-guru dari tanggung jawab Yayasan.
Dalam kata lain, “Sekolah swasta dijual wae,” dan pemerintah mengambil alih tanggung jawab kesejahteraan guru karena Yayasan sudah tidak mampu lagi memenuhi tingkat kesejahteraan guru-gurunya. Dengan jumlah siswa yang tak seberapa dan makin tergerus, sekolah swasta yang mempekerjakan guru swasta harus menerima pil pahit. Guru-tak punya harapan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Pil pahit harus diterima dan pinjol solusinya. Jika “sekolah swasta” dijual dan dibeli pemerintah, maka gurunya akan terangkat, seperti Universitas swasta yang diambil alih oleh pemerintah.
Momentum HUT Ke-78 Kemerdekaan dengan Tema “Terus Melaju Untuk Indonesia Maju” jangan meninggalkan guru swasta. Pengakuan “status guru satu” tanpa diskriminasi, melahirkan kebangkitan pendidikan dan pembelajaran. Hal ini akan berimbas pada motivasi guru dan membangkitkan semangat belajar siswa yang tinggi pula.
Bangkitnya semangat guru, tentu dapat mewujudkan merdeka belajar secara utuh. Guru sejahtera berarti guru merdeka dari belenggu ekonomi keluarga. Sebaliknya, ketika guru belum merdeka kesejahteraannya, jangan harap merdeka belajar dapat terwujud.
Guru menempati posisi strategis dalam usaha mencerdaskan anak-anak bangsa sebagai generasi emas suatu negara.
Era Merdeka Belajar saat ini dengan program Guru Penggerak, sebagai guru inovator di sekolahnya menjadi saat yang tepat untuk memerdekakan guru sebagai cerminan Profil Pancasila. Sebab mustahil Merdeka Belajar akan tercapai tanpa Memerdekakan guru-gurunya, karena guru adalah mata pensil, tajam mendidik dan terarah.
Ketika Guru-gurunya belum Merdeka, maka mata pensil akan tumpul dan tidak mampu mempertajam kecerdasan anak-anak bangsa. Padahal inti dari Merdeka Belajar adalah generasi cerdas negara maju yang berprofil Pancasila. (Tangerang, 20 Agustus 2023)
HALIMSON REDIS. Guru, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Federasi Guru Independen Indonesia (FGII).