BANDAR LAMPUNG (lampungbarometer.id): Sekretaris Asosiasi Ekonomi Kreatif Nasional (AEKEN) Lampung Razi Alfarisi, S.Ds. menilai even-even wisata di Provinsi Lampung terkesan hanya seremonial dan belum terkonsep dengan baik sehingga belum mampu menarik minat wisatawan untuk datang.
“Hingga saat ini Lampung belum memiliki kegiatan yang terkonsep dengan baik dan mampu menarik wisatawan. Selain itu, belum ada event organizer (EO) di Lampung yang memiliki lisensi MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition, sehingga kita tidak bisa menggelar even wisata level nasional dan internasional. Kalau ada even besar harus pakai EO luar, secara ekonomi kita kurang diuntungkan,” ungkap Razi di Bandar Kamis (1/10/2020).
Menurut Razi, Pemerintah harus merangkul organisasi, asosiasi dan komunitas bidang pariwisata dan ekonomi kreatif agar program dan kegiatan yang dilakukan tidak hanya seremonial. Sebab, kata dia, yang tahu kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dalam pengembangan pariwisata adalah pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif.
“Wisata di Lampung bukan hanya destinasi objek wisata, tapi ada juga kuliner dan sosial budaya. Namun sejauh ini, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah baru sebatas seremonial. Oleh karena itu, pemerintah garus merangkul organisasi, komunitas dan pelaku wisata. Jika ini dilakukan, saya yakin pariwisata kita akan mampu bersaing,” ujar Razi.
Akademisi yang juga praktisi ekonomi kreatif ini juga menyarankan pemerintah agar mengkaji dampak ekonomi dari setiap even yang digelar, apakah kegiatan tersebut bisa mendorong pertumbuhan ekonomi atau tidak.
“Sederhananya begini, sebelum menggelar festival, apakah pemerintah memikirkan dampak ekonominya? Berbanding terbalikkah anggaran yang digunakan dengan ekonomi yang berputar? Ini yang tidak pernah dibahas, tidak pernah dianalisa. Padahal, seharusnya ini yang menjadi bahasan utama,” ujarnya.
“Yang kita butuhkan adalah sustainability (keberlanjutannya) pasar, regulasi dan dampak ekonominya. Jadi, jangan selesai kegiatan lalu semua dianggap selesai, ini yang tidak tepat. Yang harus dikaji adalah bagaimana keberlanjutannya,” ujar Razi menambahkan.
Lebih lanjut dosen desain grafis salah satu perguruan tinggi swasta ini juga mengungkapkan, salah satu kegiatan yang kesannya sangat seremonial adalah Festival Krakatau. Sebab kalender kegiatan tidak tetap, tamu yang datang (para duta besar) adalah undangan, dan nyaris tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan pariwisata.
“Kita lihat apa dampaknya bagi pariwisata, ekonomi kreatif Lampung; berapa banyak hotel terisi selama digelarnya festival, berapa banyak uang masuk dari kuliner, apakah fashionnya juga menjadi buruan wisatawan. Sudakah ini dicatat dan dikaji? Kalau memang sudah, ya bagus. Namun, saya bisa katakan kegiatan ini belum terkonsep dengan baik karena tidak melibatkan expertnya.”
Lebih lanjut, dia mengingatkan agar dalam menganggarkan bidang pariwisata dan ekonomi kreatif (Parekraf) harus sesuai kebutuhan dan melibatkan pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif.
“Kalau untuk fasilitas dan infrastruktur, okelah mungkin tidak terlampau rumit. Tapi ketika bicara SDM, pertumbuhan ekonomi, dan market, yang paham adalah pelakunya.
Organisasi yang terkait di bidang ekonomi kreatif punya ekosistem sendiri dan mereka tahu apa yang dibutuhkan, apa yang harus dilakukan dan konsep besar apa yang akan direalisasikan,” ungkap pelaku ekonomi kreatif bergelar sarjana desain ini.
Dia mencontohkan UKM di bidang kriya, banyak pengrajin dan pelaku usaha yang diminta membuat produk. Namun saat produk sudah dibuat, bingung kemana produk-produk tersebut harus dipasarkan. Apalagi kita tahu penduduk lokal sangat jarang membeli produk lokal.
“Untuk mengembangkan sektor pariwisata pemerintah harus tahu apa yang mesti dilakukan, apa saja kebutuhannya, dan apa yang harus direalisasikan dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Nah, yang memahami ini adalah pelaku wisata dan ekonomi kreatif. Tanpa sinergi itu maka semua hanya hayalan tingkat tinggi,” ujar Razi. (Okto/Rudi/AK)