x

Kick Off Sosialisasi UU HPP: Sri Mulyani Tekankan Urgensi Reformasi Pajak

waktu baca 4 minutes
Sabtu, 20 Nov 2021 17:29 0 100 Admin

JAKARTA (lampungbarometer.id): Reformasi perpajakan sangat diperlukan untuk mendukung upaya mewujudkan Indonesia maju. Indonesia maju adalah cita-cita Indonesia menjadi negara high income dengan kekuatan ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2045.

Hal itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara Kick Off Sosialisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang diselenggarakan di Bali Nusa Dua Convention Center, Jumat (19/11/2021).

“Di masa bonus demografi menjadi momentum reformasi untuk penguatan fondasi dan daya saing dibutuhkan reformasi struktural yang didukung dengan reformasi fiskal yang berkelanjutan,” ujar Sri Mulyani.

Kick Off Sosialisasi UU HPP ini merupakan awal rangkaian kegiatan sosialisasi terkait UU HPP yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Namun, ujar Sri Mulyani, di tengah upaya mewujudkan Indonesia maju, pandemi Covid-19 mengguncang perekonomian dan menimbulkan tekanan fiskal yang signifikan.

Pada Tahun 2020, pertumbuhan ekonomi terkontraksi -2,07%, jauh di bawah ekspektasi APBN 5,3%. Penerimaan pajak melemah hingga hanya mencapai 8,33% PDB di bawah kondisi rata-rata dalam lima tahun terakhir di angka 10,2%, sementara defisit dan rasio utang meningkat tajam.

Sampai saat ini, APBN telah bekerja keras menahan agar pemburukan tidak terjadi
terlalu dalam. Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi dampak pemulihan perekonomian pascapandemi yang masih dibayangi ketidakpastian, reformasi perpajakan yang mendorong sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel menjadi semakin diperlukan. Untuk itulah, UU HPP lahir.

Menurut Sri Mulyani, UU HPP adalah suatu bekal untuk meneruskan perjalanan Indonesia maju yang mengalami disrupsi yang luar biasa akibat Covid-19. Reformasi yang dilakukan pada masa pandemi ini diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian ekonomi global dan diharapkan dapat menjadi instrumen multidimensional objektif, yaitu fungsi penerimaan pajak yang bersamaan dengan pemberian insentif untuk
mendukung dunia usaha pulih, namun tidak menjadikan administrasinya semakin sulit.

Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dito Ganinduto, yang turut hadir dalam acara tersebut, mengungkapkan UU HPP adalah hasil kolaborasi semua pemangku kepentingan. DPR RI melibatkan setidaknya 80 asosiasi, akademisi,
organisasi pendidikan dan kesehatan, Himbara, dan banyak lagi untuk didengarkan
pendapatnya.

Setelah UU HPP ini disahkan, DPR RI berkomitmen terus mengawal reformasi yang dilakukan pemerintah dan terus bekerja sama dalam pelaksanaan dan pengawasan UU HPP, sehingga tujuan pembentukan UU untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat tercapai.

Senada dengan itu, pada acara yang sama, Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, mengatakan perkembangan ekonomi pascapandemi dan keterbatasan kapasitas administrasi dan kebijakan, menyebabkan pemerintah melalui DJP menyusun materi RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP), yang telah berada di program legislasi nasional (prolegnas) dan merupakan bagian dari tahapan reformasi kebijakan fiskal DJP.

Menurut Suryo Utomo, materi tersebut tidak hanya berisi ketentuan formal tetapi juga ketentuan material, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Cukai, Pajak Karbon, dan Program Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak.

Pada akhirnya, RUU KUP tersebut disetujui dengan nama RUU HPP dengan beberapa perubahan yang didasarkan pada masukan dari para pemangku kepentingan, seperti perubahan pada ketentuan PPh, PPN, serta
mengubah Program Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak menjadi Program Pengungkapan
Sukarela (PPS).

Pada acara yang juga menghadirkan Wakil Gubernur Bali, para anggota DPR RI, Asosiasi KADIN dan APINDO, dan beberapa Wajib Pajak (WP) prominen di Provinsi Bali tersebut, Suryo juga mengungkapkan setelah pengesahan UU HPP pada 29 Oktober lalu, direncanakan akan ada 43 aturan pelaksana UU HPP, 8 dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan 35 dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Oleh sebab itu, pemerintah sangat mengharap masukan para pemangku kepentingan dalam penyusunan aturan pelaksana tersebut.
Lebih lanjut, menurut Suryo, walaupun UU HPP telah selesai dan nanti aturan pelaksana sudah siap, tanpa sosialisasi yang kuat dikhawatirkan implementasinya tidak maksimal. Oleh sebab itu, DJP berencana melakukan rangkaian kegiatan sosialisasi, termasuk acara Kick Off Sosialisasi
yang dilakukan pada 19 November 2021 ini.

Setelahnya, DJP akan melanjutkan roadshow sosialisasi UU HPP, khususnya PPS yang jangka waktunya hanya enam bulan sejak
1 Januari 2022, di beberapa kota lain di Indonesia, seperti Medan, Jakarta, Bandung, dan Balikpapan. Optimalisasi media sosial dan media massa dilakukan melalui talkshow, media briefing, dan media gathering. Para Fungsional Penyuluh Pajak di masing-masing unit vertikal DJP dikerahkan untuk menyosialisasikan UU HPP di wilayah kerja masing-masing. Selain itu, dilakukan dialog serap aspirasi kepada asosiasi-asosiasi di Indonesia.

“Sosialisasi kepada para pengusaha asosiasi juga dilakukan sembari menyerap aspirasi untuk penyusunan aturan pelaksanaan dari UU HPP,” tutup Suryo. (rls)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

November 2021
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  
LAINNYA