BANDAR LAMPUNG (lampungbarometer.id): Provinsi Lampung kehilangan potensi pendapatan lebih Rp 15 milyar setiap tahun akibat pengelolaan sektor pariwisata yang hanya seremonial, kurang maksimal dan terkesan setengah kopling.
“Jika dianalogikan kita punya 30 agen biro perjalanan, dan setiap agen bisa membawa 500 wisatawan di periode high season, artinya minimal kita kehilangan 15.000 wisatawan setahun. Kalau satu wisatawan menghabiskan uang Rp 1 juta selama kunjungannya maka uang kita yang hilang setiap tahun minimal Rp 15 milyar.”
Hal itu diungkapkan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies (ASITA) Provinsi Lampung Arizo Fhasha, S.I.P. kepada lampungbarometer.id di Bandar Lampung, Senin (28/9/2020) Pukul 20.30 WIB.

INI adalah salah satu destinasi wisata air terjun yang berada di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. (Foto: Dokumentasi)
“Lampung punya potensi pariwisata dan ekonomi kreatif sangat besar, baik sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA). Dari gunung hingga pantai, sungai juga danau, sayang pemerintah kita setengah kopling dalam mengelola sektor pariwisata ini,” ujar Fhasha menyoroti keseriusan pemerintah dalam mengembangkan sektor pariwisata.
Selama ini, ujar Fhasha, even yang digelar baru sebatas seremonial. Oleh sebab itu, kalau kita ingin pariwisata kita maju, pemerintah harus serius dan tidak hanya melaksanakan kegiatan yang hanya bersifat seremonial seperti yang selama ini dilakukan.
Lebih lanjut dia mengatakan, selama ini kegiatan atau even-even yang digelar Pemerintah Provinsi Lampung belum mampu menarik wisatawan untuk datang ke Lampung karena even-even yang digelar dianggap tidak menarik oleh wisatawan.
“Kita sebut saja misalnya Festival Krakatau, Acara Mutil Lada atau even lain, semua terkesan seremoni belaka. Ini jelas tidak menarik bagi turis. Belum lagi ‘wisatawan’ yang hadir rata-rata undangan. Ini yang perlu kita catat, yang namanya turis bukan datang karena diundang, tapi karena memang merasa tertarik atas suatu objek wisata; bisa destinasi, kegiatan budaya, acara adat dll. Kalau hadir karena diundang, menurut saya itu belum bisa dikatakan wisatawan,” tegas Fasha.
Dia juga menyampaikan hal penting lain yang menjadi PR kita bersama adalah bagaimana wisatawan yang datang ke Lampung merasa terkesan dan ingin datang lagi, bukan hanya hari itu saja kemudian tidak mau lagi datang karena dianggap kurang.

“Yang lebih penting adalah repeat ordernya (datang lagi), itu kita belum punya. Seperti apa problem solvingnya, seluruh stake holder pariwisata; pemerintah, asosiasi, organisasi harus bersinergi duduk bareng merumuskan bagaimana agar objek wisata kita dikunjungi wisatawan domestik atau internasional,” katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan jika mengaca kepada daerah yang wisatanya sudah maju, seperti Yogyakarta, Bali dan Bandung, bentuk ril wisata yang bisa mengundang wisatawan adalah wisata yang menonjolkan budaya, sebab budaya selalu menjadi daya tarik yang bisa menarik wisatawan.
“Kalau kita lihat Lampung lebih kaya. Untuk adat dan budaya kita punya adat Pepadun dan Saibatin; untuk fashion, kita punya pakaian adat beragam; untuk kuliner, kita juga memiliki varian makanan bermacam-macam. Tapi kenyataannya pariwisata kita jauh tertinggal.”
Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi harus lebih baik lagi mempromosikan dan mengenalkan budaya Lampung dengan melibatkan asosiasi, organisasi pariwisata dan stakeholder lain untuk membuat even yang bukan sekadar acara seremonial.
“Misalnya Begawi Adat, itu bisa dimasukkan dalam kalender even budaya. Kita kemas semenarik mungkin dengan melibatkan tokoh dan pemangku adat dan pihak terkait. Jika kemasannya tepat, jelas ini dapat menjadi objek wisata yang mampu menyedot wisatawan. Beberapa kali acara Begawi Adat di Kotabumi dan Menggala dikunjungi turis mancanegara asal Australia dan Jerman. Mereka datang sendiri tanpa diundang karena mereka ingin mengenal budaya ini,” ungkapnya.
“Jika kita ingin Lampung menjadi tujuan utama kunjungan wisatawan, tantangan yang harus jita hadapi adalah: masyarakat kita kurang ramah, infrastruktur yang kurang lengkap, transportasi kurang, serta segmen pasar yang tidak jelas. Jadi tata ruang wisatanya harus jelas, misalnya Pulau Pahawang itu segmen pasarnya siapa. Jika semua ini bisa kita tanggulangi, ditunjang infrastruktur dan SDM memadai maka pariwisata Lampung akan bisa bersaing,” pungkasnya. (Okto/Rudi/AK)
Tidak ada komentar