Jakarta (LB): Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan empat mahasiswa dari Yogyakarta dan menghapus aturan ambang batas (presidential threshold) 20% kursi DPR, Kamis (2/1/2025).
Putusan perkara Nomor 62/PUU-XXI/2023 itu dibacakan Ketua MK, Suhartoyo, di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Kamis (2/1) dan mengabulkan permohonan para pemohon.
“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.
Keputusan MK ini membuat perubahan yang signifikan dalam kegiatan demokrasi di Indonesia, sebab dengan keputusan ini maka di Pemilu yang akan datang semua partai politik peserta Pemilu bisa mengusulkan pasangan capres dan cawapres meskipun tidak memiliki perolehan kursi paling sedikit 2O% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dalam pertimbangannya, MK menilai pengusungan pasangan calon berdasarkan ambang batas terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. MK juga menilai besaran ambang batas lebih menguntungkan partai politik yang memiliki kursi di DPR.
“Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest),” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Saldi mengatakan adanya kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap Pilpres hanya terdapat dua pasangan calon, jika terus mempertahankan ketentuan ambang batas dalam pengusulan pasangan calon. Padahal, kata dia, pengalaman Pilpres dengan dua pasangan calon membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.
“Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal,” ujar dia.
“Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong,” sambungnya.
Saldi menyampaikan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat diusulkan oleh partai politik, sepanjang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu. Saldi pun menyampaikan usai lima kali Pilpres digelar, MK telah cukup menyatakan ambang batas sebagai syarat mengusulkan pasangan calon.
“Terlebih terdapat pula fakta lain yang tidak kalah pentingnya, dalam beberapa pemilu presiden dan wakil presiden terdapat dominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai pasangan calon presiden dan wakil presiden,” paparnya.
MK lantas menyarankan kepada DPR dan pemerintah dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017, untuk memperhatikan jika pengusulan pasangan calon tidak didasari lagi oleh ambang batas. Saldi mengatakan partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon maka dapat dikenakan sanksi larangan ikut serta dalam Pilpres berikutnya.
“Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional,” tuturnya.
“Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30 maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu,” ungkap Saldi.
Meskipun demikian, putusan penghapusan ambang batas ini tidak bulat. Ada dua hakim yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion, dua hakim itu adalah Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Diketahui, gugatan mengenai ambang batas atau presidential threshold ini sudah sering kali diputus oleh MK dan ujung-ujungnya kandas. Ada 36 kali gugatan dilayangkan ke MK agar presidential threshold ini dihapus, yang diterima baru gugatan kali ini.
Apa sebenarnya presidential threshold itu?
Presidential threshold adalah ambang batas suara yang harus diperoleh partai politik agar bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ambang batas ini sejatinya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 222.
Adapun bunyinya sebagai berikut:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Adapun penerapan presidential threshold ini selanjutnya diatur dalam Pasal 223, 224, dan 225 dalam Undang-Undang tersebut. (Che)