MAJELIS 27an adalah milik kita bersama dan karena itu kita harus membangunnya bersama-sama. Ruang budaya ini harus tetap ada dan segenap intelektual dan seniman dan budayawan harus aktif urun-rembuk tanpa diminta. Mengerahkan materi dan tenaganya untuk membangun silaturahmi, wacana budaya, dan strategi kebudayaan kita. Majelis 27an, sekali lagi, adalah milik bersama, milik kita semua.
Paragraf di atas bukan dimaksudkan sebagai paragraf bernada polemik, melainkan paragraf yang bernada kasih sayang, ajakan, dan rayuan. Rasa hormat dan keterusterangan.
Baiklah. Lain dari paragraf pembuka, marilah kita sedikit mengulas acara Majelis 27an.
Malam merayap. Majelis 27an kembali digarap dengan “Menolak Kehilangan Bahasa” sebagai tajuknya. Tajuk problematik tersebut dipilih KOBER dan Kaula berikut kaum intelektual, seniman, dan aktivis budaya di Lampung atas pertimbangan yang saksama; bahwa bahasa Lampung sebagai produk budaya harus tetap subur, tetap eksis, dan tetap mengada di tanah Lampung tercinta.
(Tajuk) diskusi tersebut memang telah digelar oleh Majelis 27an dan sudah berlangsung pada Senin malam (27/5/2024) di Lantai 1 Graha Kemahasiswaan Unila dengan Orkes Bada Isya sebagai grup musik pembuka dan penutup: dua di antaranya lagu klasik Lampung.
Majelis 27an telah menghadirkan Sustiyanti, S.S., M.Hum (Penelaah Teknis Kebijakan Kantor Bahasa Provinsi Lampung) sebagai teman bicara dan Edi Siswanto, M.Pd. (Akademisi Unila) sebagai moderatornya. Hadir pula dalam majelis beberapa perwakilan UKM, Seniman Kampus, intelektual dan seniman, di antaranya Ari Pahala Hutabarat, Neri Juliawan, Edy Samudra, Gandi Maulana, Dodi Firmansyah, Urip, S.P., Ahmad Mufid, dan lain-lain.
Dalam majelis tersebut, atas responnya terhadap tajuk di muka, Sustiyanti memaparkan kondisi bahasa Lampung melalui satu sampel penelitian di Desa Penengahan, Karya Penggawa, Kabupaten Pesisir Barat; berdasarkan hasil kajian vitalitas bahasa tersebut, Sustiyanti (dalam hal ini Badan Bahasa dan Kantor Bahasa Provinsi Lampung) menyatakan bahwa bahasa Lampung dalam kondisi rentan.
Sustiyanti mengatakan, ada beberapa macam status atau tingkatan atau kondisi untuk eksistensi bahasa daerah, di antaranya status aman, rentan, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis, dan punah (paparan lengkapnya bisa kita disaksikan di kanal Youtube Lampung Kultur).
Selain memaparkan soal status eksistensi bahasa daerah, Sustiyanti juga memaparkan salah satu program kerja Kantor Bahasa Provinsi Lampung (KBPL) yang juga adalah program kerja Nasional atau Pemerintah Pusat (melalui Badan Bahasa). Program tersebut bertajuk Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD) yang kemudian diolah sedemikian rupa menjadi Festival Tunas Bahasa Ibu. Dalam program tersebut KBPL merangkul segenap elemen dan instansi untuk menyukseskan acara itu. Sebuah usaha untuk asyik bersama di ranah budaya; dalam hal ini bahasa sebagai salah satu produknya.
Asyik Bersama adalah istilah yang dilontarkan oleh Ari Pahala Hutabarat (APH) yang pada malam itu hadir sebagai anggota majelis 27an. APH memuji kerja-kerja kebudayaan/kebahasaan yang telah dilakukan KBPL meskipun dalam pandangan APH, KBPL masih kurang asyik bersama. Masih banyak yang harus dirangkul; misalnya saja mahasiswa/i Program Studi Bahasa Lampung. Asyik bersama, misalnya, adalah menghadirkan Bu Sustiyanti dalam majelis 27an.
Begitulah, diskusi majelis 27an berjalan kurang lebih dua jam dan menjadi lebih hidup karena adanya sesi tanya-jawab. Majelis diskusi antusias menyampaikan pertanyaan dan tanggapan-tanggapan mereka. Ada yang setuju dengan pembicara, ada yang tidak. Satu hal yang wajar terjadi dalam dinamika dan dialektika budaya. Dan perbedaan tersebut segera didinginkan oleh dua lagu penutup yang dibawakan oleh Orkes Bada Isya.
Demikianlah, semoga kita benar-benar bisa asyik bersama dalam membangun wacana budaya (daerah dan nasional) termasuk di dalamnya menolak kehilangan bahasa. Semoga. **
YULIZAR LUBAY, fiksionis, aktor Komunitas Berkat Yakin, dan pengasuh teater di UKMF KSS FKIP Unila.