LAMPUNGBAROMETER.ID – Sampah masih menjadi problem serius di Provinsi Lampung, khususnya Kota Bandar Lampung, karena pengelolaannya yang dinilai belum maksimal. Sampah yang menggunung di tempat pembuangan akhir (TPA) dan menebarkan bau tidak sedap yang keras menusuk hidung kerap dirasa sangat menggangu oleh sebagian masyarakat, terutama mereka yang tinggal tidak jauh dari tempat pembuangan akhir sampah.
Namun, ternyata tidak semua orang punya anggapan sama bahwa sampah sangat mengganggu sehingga harus dimusnahkan. Sebab bagi sebagian warga yang sehari-harinya terbiasa berjuang mengarungi lautan sampah di TPA untuk mencari rezeki, tumpukan sampah yang menggunung di tempat pembuangan akhir adalah lumbung untuk bertahan hidup.
Bagi mereka yang biasa bergelut mengais sampah di TPA untuk menyambung dan memenuhi biaya hidup sehari-hari, sampah yang menggunung tersebut merupakan gunung “emas putih” yang sangat menguntungkan. Bagi mereka aroma menyengat dari sampah adalah nafas kehidupan dan denyut nadi serta kepulan asap dari bakul nasi yang baru saja tanak dan siap disantap. Bagi mereka, timbunan sampah merupakan lembaran uang yang bakal digunakan untuk biaya sekolah anak-anaknya atau alat penukar beras, ikan asin, tempe dan cabai di pasar. Bagi mereka deru mesin truk sampah dan suara riuh bak truk pengangkut sampah adalah harapan.
Dalam liputan khusus kali ini, Media Online lampungbarometer.id mencoba menggali informasi perihal perjuangan para “pemulung” tersebut dengan mengunjungi langsung tempat pembuangan akhir sampah (TPA) Umbul Kates, Desa Tanjungsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan pada Rabu, 22 November 2023 dan TPA Bakung, Kecamatan Bakung, Kota Bandar Lampung pada Kamis, 23 November 2023.
Dalam liputan khusus tersebut, Tim Media Online lampungbarometer.id; Anton Kurniawan dan Marles Aritonang sempat berbincang-bincang dengan Aji Saputra (29), Pak Marnyoto (60), dan Aya (22) di TPA Umbul Kates Desa Tanjungsari, Kecamatan Natar serta dengan Ibu Haryati (62) , Pak Sarnubi, Pak Bewok (43), Rudi (35) dan Sartoni (42) di TPA Bakung, Kota Bandar Lampung.
Pada Rabu, 22 November 2023 sekitar Pukul 15.00 WIB, kami tiba di lokasi TPA Umbul Kates Desa Tanjungsari, Natar disambut aroma menyengat dari sampah. Suasana di tempat pembuangan akhir seluas 1,5 hektar ini tidak terlalu sibuk dan ramai. Terlihat satu unit alat berat berada di tengah lautan sampah, sedang meratakan sampah yang menggunung. Tidak jauh dari alat berat tersebut, terlihat beberapa orang sedang mengais sampah dengan sebuah alat berupa batangan besi sepanjang sekitar satu meter yang melengkung pada bagian ujungnya.
Kepada lampungbarometer.id Aji Saputra mengatakan sudah menjalani pekerjaan sebagai pemulung di TPA Umbul Kates sekitar lima tahunan. Sementara Maryoto mengaku sudah bekerja memulung di TPA ini sekitar dua tahun lebih, sedangkan Aya mengatakan belum genap satu tahun menjalani pekerjaan tersebut.
Berikut wawancara langsung kami dengan pemulung di TPA Umbul Kates Desa Tanjungsari, Natar Lampung Selatan; Aji Saputra, Marnyoto, dan Aya (setelah memperkenalkan diri dan asal media):
Mas Aji sudah lama kerja jadi pemulung di sini?
Sudah lumayan lama Pak, sudah sekitar lima tahunan lah. Sebelumnya saya pernah kerja di perusahaan (tanpa menyebut nama perusahaannya), tapi gajinya ketika itu belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari; untuk makan, bayar listrik juga kebutuhan lainnya.
Gimana ceritanya bisa memutuskan kerja di sini?
Saya sudah mencoba beberapa bidang pekerjaan. Seperti saya bilang tadi, saya sempat kerja di perusahaan tapi ternyata hasilnya belum mencukupi. Kemudian saya juga sempat kerja jadi pegawai toko di Jawa. Kemudian sampai akhirnya saya memutuskan kerja di sini. Awalnya memang agak aneh gitu kerja di sini, tapi lama-lama jadi biasa, apalagi waktu kerjanya kita yang ngatur. Saya biasanya mulai memulung Pukul 07.30 pagi. Syukur hasil memulung ini meskipun tidak besar tapi bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Mas Aji, kalau boleh tahu berapa sih rata-rata uang hasil memulung yang didapat setiap bulan?
Kalau itu tidak menentu, tergantung kita, tapi rata-rata sekitar Rp2.000.000 hingga Rp3.000.000 bisalah kita dapat setiap bulan.
Kalau Pak Marnyoto sudah berapa lama kerja di sini?
Kami hampir samalah (menunjuk ke Aji sambil memilah milah memisahkan botol plastik, botol kaleng dan botol beling bekas minuman). Saya juga sebelum kerja mencari rongsok di sini, juga sudah mencoba beberapa pekerjaan lain. Bagi saya, kayaknya pekerjaan ini yang paling cocok, tapi bukan berarti pekerjaan ini mudah dan tidak ada tantangan.
Maksudnya gimana?
Misalnya kalau hujan, tentu akan sulit untuk memilih dan memilah rongsokan, juga bos tidak mau ngambil kalau basah. Sedangkan kalau panas, teriknya luar biasa, kan tidak ada perindang. Tapi, ya tetap bersyukur karena dengan kerja di sini anak-anak saya bisa sekolah, satu sudah tamat sekolah menengah atas, satu sudah menikah.
Kalau yang kerja cari rongsok di sini berasal dari mana saja?
Tidak tentu Pak, tapi sebagian besar dari Dusun Umbul Kates dan Desa Tanjungsari. Kalau nggak salah ada juga yang dari Rulung Sari juga Kalianda.
Berapa banyak teman-teman yang setiap hari kerja cari rezeki di sini?
Hari ini kebetulan banyak yang tidak datang, biasanya sekitar 40-an orang lah kurang lebih.
Kalau Mbak Aya gimana, sama dengan Mas Aji dan Pak Marnyoto?
Saya kerja mulung cari rongsok di sini ditemani sama suami. Tapi kalau saya belum lama, baru beberapa bulan jadi belum terlalu paham, masih harus banyak belajar. Jadi penghasilan per hari juga masih sedikit. Beda dengan bapak-bapak itu (menunjuk beberapa orang) yang memang sudah lama dan sudah biasa. Mereka kerjanya lebih cepat sehingga dapatnya lebih banyak.
Untuk Mbak Aya dapat uang berapa setiap harinya?
Kalau saya sama suami saya masih sedikit dapatnya Pak, seminggu kami berdua paling dapatnya baru Rp300 ribu – Rp400 ribu. Itu pun kami harus berangkat pagi-pagi dan pulang sore. Tapi ya gimana, tetap harus dijalani.
Kalau Pak Marnyoto hasil ngerongsok ini dijual kemana?
Kalau yang siap nampung banyak Pak, tapi kami di sini rata-rata jual hasil ngerongsok ke pengepul. Ada juga mereka (pembeli) yang datang ke sini. Kalau untuk jual mah mudah, nggak pusing, banyak yang nyari.
Berdasarkan pantauan langsung lampungbarometer.id, para pemulung bekerja masing-masing tanpa berkelompok. Dan umumnya, mereka mengaku betah dan menikmati pekerjaan sebagai pencari “emas putih” botol plastik kertas dan barang bekas lain yang laku dijual karena cepat mendapatkan uang. Hasil ngerongsok setiap harinya bisa langsung dijual sehingga langsung mendapatkan uang.
Mereka juga mengaku dari hasil mencari rongsok di tempat pembuangan akhir ini, mereka bisa membeli berbagai kebutuhan dan peralatan rumah tangga, mulai beras, lauk pauk, piring, kursi, kipas angin, hingga televisi dan sepeda motor. (Marles/AK)