Tulang Bawang

Juniardi: Kerja Wartawan Dibatasi UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik

34
×

Juniardi: Kerja Wartawan Dibatasi UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik

Sebarkan artikel ini

 

TULANG BAWANG (lampungbarometer.id): Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebut Pers adalah lembaga sosial dan wahana komu­nikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik.

Kegiatan jurnalistik adalah mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan me­nyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lain­nya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan se­gala jenis saluran yang tersedia.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung Juniardi, S.H., M.H. saat memberikan materi dalam Kegiatan Pelatihan Jurnalistik untuk kepala kampung di Tulang Bawang, Senin (20/9/2021).

Fungsi pers, ujar dia, sesuai dengan Pasal 3 UU Pers, yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, dan sebagai lembaga ekonomi.

Keberadaan UU Pers, kata Juniardi, untuk melindungi dan mengendalikan kemerdekaan pers sebab masih ada pihak-pihak yang ti­dak suka dengan adanya kebebasan pers, sehingga mereka ingin menia­dakan kebebasan pers.

“Namun di lain sisi ada penyalahgunaan kebebasan pers, yaitu memanfaat­kan kebebasan yang dimiliki un­tuk melakukan kegiatan jurnalistik yang bertentangan dengan fungsi dan peranan yang diembannya. Oleh karena itu, kebebasan pers menjadi tantangan terberat bagi wartawan,” katanya.

Dia juga menyampaikan kerja wartawan diatur dalam Kode Etik wartawan, yang juga ada dalam UU Pers terdapat 11 pasal Kode Etik wartawan Indonesia. Wartawan Indonesia harus menempuh cara yang profe­sional dalam melaksanakan tugas jurnalistik; menunjukkan identitas diri, menghormati hak privasi, tidak menyuap, menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumber­nya.

“Wartawan harus menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam pe­nyajian gambar, foto, suara. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil lipu­tan wartawan lain sebagai karya sendiri. Penggunaan cara-cara ter­tentu dapat dipertimbangkan un­tuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik,” katanya.

Sebelum menyajikan berita, ujar dia, wartawan Indonesia harus selalu menguji informasi, mem­beritakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta mener­apkan asas praduga tak bersalah.

Juniardi menegaskan, wartawan tidak boleh membuat berita bohong, fit­nah, sadis, dan cabul. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pen­gambilan gambar dan suara. Wartawan juga tidak menyebutkan dan menyiar­kan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

“Wartawan memiliki hak tolak untuk melind­ungi narasumber yang tidak ber­sedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ke­tentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” ses­uai dengan kesepakatan. Wartawan juga harus menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik,” ujarnya menambahkan.

Dalam hal pemberitaan, ucap Jun, wartawan Indonesia harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pemba­ca, pendengar, dan atau pemirsa.

Pasal 11 Kode Etik menyebutkan wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak kore­ksi secara proporsional. Hak jawab adalah hak se­seorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pem­beritaan berupa fakta yang meru­gikan nama baiknya. Hak koreksi adalah hak se­tiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang di­beritakan, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

“Penilaian akhir atas pelangga­ran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Dan sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan or­ganisasi wartawan dan atau peru­sahaan pers. (Red)