Artikel Dan Opini

Guru ‘Dibully’ Guru ‘Diintimidasi’: Lawan! Saatnya Revolusi Kebijakan yang Tidak Berpihak Pendidikan

1288
×

Guru ‘Dibully’ Guru ‘Diintimidasi’: Lawan! Saatnya Revolusi Kebijakan yang Tidak Berpihak Pendidikan

Sebarkan artikel ini

MENDENGARKAN curhat para guru, membaca media massa, dan mengeja hasil ‘diskusi kupi pahik’ dengan pemerhati dan pengamat pendidikan, aktivis seni budaya, teman-teman guru, dan mahasiswa pada Majelis Malam 27-an yang dilaksanakan UKMBS Universitas Lampung di Lantai dasar Gedung Graha Mahasiswa Unila pada Kamis, 27 Juni 2024 malam, memaksa saya untuk menulis tulisan sederhana ini dengan harapan mampu menggugah semangat dan keberanian teman-teman guru, khususnya di Lampung untuk bangkit dan bersama-sama melawan kezaliman atau lebih tepatnya tindakan sewenang-wenang pengambil kebijakan di Provinsi Lampung maupun Kabupaten/Kota yang ada di Lampung terhadap profesi guru.

Pandangan terhadap profesi guru bagi bangsa ini, mungkin berbeda dengan bagaimana Kaisar Jepang, Hirohito, memandang pentingnya profesi guru bagi sebuah negara. Tercatat dalam sejarah, pascabom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia kedua di 1945, kondisi Jepang benar-benar hancur dan sangat memprihatinkan.

Sejarah mencatat, bukannya bertanya tentang berapa tentara yang tersisa, kaisar Hirohito justru menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa. Ketika itu para jenderal menjawab bahwa mereka mampu menyelamatkan dan melindungi Kaisar tanpa perlu bantuan guru.

Namun sang Kaisar menjelaskan kepada mereka bahwa Jepang telah jatuh dan hal itu terjadi karena mereka tidak belajar. Jepang memang kuat dari segi persenjataan dan strategi perang, tapi nyatanya mereka tidak mengetahui cara membuat bom yang dahsyat seperti yang telah membumihanguskan Kota Hiroshima dan Nagasaki. Kemudian dengan bermodalkan sekitar 45.000 guru yang tersisa setelah perang, Jepang berhasil bangkit dan menjadi salah satu negara maju yang disegani hanya dalam kurun waktu sekitar 20 tahun.

Lalu bagaimana dengan nasib guru kita? Beberapa waktu terakhir, terlalu banyak informasi terkait “perundungan”, tindakan sewenang-wenang dan “pelecehan” terhadap profesi guru yang kita dengar dan lihat secara langsung; mulai kabar gaji guru honorer yang hanya cukup untuk membeli gincu dan kutang (maaf), THR guru yang tidak dibayarkan, gaji ke-13 yang tak kunjung turun entah mampat di mana, tunjangan profesi guru yang macet, rapel kenaikan gaji yang tak ada kabar, tunjangan guru non sertifikasi yang juga tak kunjung diberikan serta berbagai kabar tak sedap lainnya yang mendera para guru.

“Tunjangan non sertifikasi kami sejak Januari sampai Juni 2024 ini baru cair satu bulan. Untuk Tahun 2023 bahkan ada tiga bulan belum dibayarkan. Memang besarannya tidak seberapa, hanya Rp 250.000 per bulan, tapi itu hak kami,” ucap salah seorang guru ASN di salah satu SMA yang cukup favorit di Lampung dengan nada cukup tinggi.

Sementara guru lainnya, juga menceritakan tentang tunjangan profesi guru yang tidak kunjung cair. Juga guru honorer yang sudah beberapa bulan belum menerima gaji. Ini baru secuil informasi buruk yang berembus ke permukaan, informasi lain jelas lebih banyak lagi.

Dan yang terbaru, sekaligus kabar paling sensasional menurut saya, adalah berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adanya anggaran tambahan THR dan Gaji Ke-13 bagi 3.787 ASN guru di Kota Bandar Lampung Tahun Anggaran 2023 sebesar Rp9.800.879.000 yang berasal dari Kas Pusat yang sudah diturunkan, ternyata tidak dibayarkan kepada guru. Konon uang berjumlah miliaran tersebut malah digunakan untuk perjalanan umroh dan kegiatan lain. Dan menurut laporan hasil pemeriksaan BPK Provinsi Lampung, hingga hari ini anggaran tersebut belum dibayarkan.

Ini hal luar biasa, yang sangat sulit diterima dan dinalar oleh orang-orang yang berpikir sehat dan masih menjaga kewarasan. Peristiwa seperti ini seharusnya tidak bisa ditoleransi dan dibiarkan sebab merupakan sebuah bentuk “pelecehan” sekaligus intimidasi terhadap profesi guru.

Sayangnya, menghadapi situasi ini kita tidak mendengar suara dan kritik dari para Anggota Dewan yang Terhormat. Mereka terkesan hamma-hamma gawoh (diam-diam saja). Dan yang lebih aneh lagi, sekitar 141.779 guru di Provinsi Lampung (berdasarkan data Banglitbangda) dan 7.288 guru SD dan SMP di Bandar Lampung (berdasar data Badan Pusat Statistik) seakan bisu, bungkam dan tak mampu bersuara nyaring. Entah kenapa? Barangkali mereka mulai paham bahwa nyaris tidak ada tempat untuk menyandarkan pundak; mengadu dan melepas keresahan lalu kemudian menerima solusi yang bahagia.

Kondisi ini tidak bisa terlalu lama dibiarkan, sebab akan berpengaruh secara langsung terhadap mental dan psikologi guru. Di tengah tuntutan untuk melaksanakan tugas mencerdaskan anak bangsa demi Indonesia yang lebih baik di masa depan, profesi guru justru masih dianggap anak tiri oleh para pengambil kebijakan. Ini sebuah anomali yang tidak bisa ditoleransi.

Saatnya guru bangkit, bergerak bergandengan tangan berdiri di atas kaki sendiri menjaga marwah dan martabatnya sebab profesi guru merupakan urat nadi untuk membangun peradaban. Maju mundurnya bangsa ini adalah di tangan para guru. Tidak boleh lagi ada tindakan semena-mena terhadap profesi guru dari para pengambil kebijakan mulai Pusat hingga Daerah, termasuk di dinas-dinas.

Jika nasib guru menjadi permainan, jika profesi guru terus dilecehkan dan diintimidasi, jika kebijakan pendidikan tak lagi berpihak pada pendidikan maka seperti yang dikatakan penyair Wiji Thukul dalam salah satu puisinya.. LAWAN!! Tabiik

Anton Kurniawan, Ketua Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Lampung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *