Lampung Barat (LB): Petani kopi di Kabupaten Lampung Barat mengaku tahun ini mengalami gagal panen karena jumlah hasil panen yang jauh merosot dibanding tahun lalu.
Meskipun harga jual kopi tahun ini terbilang tinggi berkisar Rp30.000 hingga Rp50.000, petani kopi mengaku hal tersebut tidak cukup membantu karena kondisi buah kopi yang nyaris tidak ada.
Neti (47), salah satu petani kopi di Giham, Lampung Barat mengatakan jumlah hasil panen tahun ini memang jauh menurun dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya sehingga harga jual kopi yang terbilang tinggi tidak bisa dinikmati petani.
“Kopi memang lagi ada harga tahun ini, sekarang sekitar Rp 35.000 bahkan kemaren-kemaren sempat Rp50.000, tapi buahnya nggak ada, jadi ya sama aja. Tahun ini betul-betul berat, bisa makan saja sudah bersyukur,” ungkap Neti, Selasa (22/8/2023).
Warga lainnya, Heri (44) mengungkapkan penurunan jumlah hasil panen tahun ini menurun drastis, bahkan mencapai 70 hingga 80 persen dari tahun sebelumnya. Kondisi ini, ujarnya, terasa sangat berat bagi petani kopi.
“Tahun ini berat Mas, kopi nggak ada buahnya. Perbandingannya, kalau biasanya per hektar itu kita bisa dapat 1 ton hingga 3 ton bahkan bisa empat ton kalau bagus dan perawatannya maksimal. Tahun ini hanya dapat 3 kuintal. Jadi memang betul-betul nggak ada buah,” ucap Heri.
Kondisi ini, ujarnya, memang terasa sangat berat bagi petani apalagi biaya perawatan tanaman kopi juga lumayan. Oleh sebab itu, dia berharap Pemerintah bisa memberikan bantuan bagi petani.
“Biaya perawatan cukup besar, untuk pupuk, obat gulma serta perawatan batang. Kondisi tahun ini berat Mas, semoga saja Pemerintah Provinsi Lampung bisa memberi bantuan untuk meringankan beban petani,” ungkap Heri.
Ungkapan yang sama juga disampaikan Nardi (40), warga Sumber Jaya. Menurut Nardi, kegagalan panen tahun ini disebabkan ketika sedang masa berbunga, angin sangat kencang dan sempat hujan sehingga kondisi bunga kopi rontok.
“Tahun ini bisa dibilang nggak panen karena memang buahnya nggak ada. Jadi meskipun ada harga, petani tidakĀ merasakan. Sekarang kondisi berat, apalagi saya tidak punya sawah sehingga harus beli beras. Panen gagal, tapi makan tidak bisa ditunda, belum lagi biaya sekolah anak. Kondisinya sangat berat,” keluhnya. (San)