REFLEKTIF dan marah, demikian kiranya nada diskusi dalam acara diskusi “Satu Malam 27an” yang diadakan di lantai 2 Graha Kemahasiswaan Unila pada 27 Januari 2023 lalu.
Diskusi bernada refleksi dan marah tersebut mengambil Tema “Seni dan Budaya untuk Lampung Berjaya.” Satu tema yang dikancah oleh beberapa kelompok, praktisi, pemerhati seni dan budaya di (untuk) tanah Lampung tercinta: KAULA (Keluarga Alumni UKMBS Unila), KoBer (Komunitas Berkat Yakin), Lampung Kultur, dan UKMBS Unila.
Dibuka dengan penampilan Orkes Bada Isya, dipandu oleh Habib Alidengi dan Junior De Santoz, dan dihadiri puluhan apresian dari berbagai kalangan dan bidang keilmuan, acara diskusi Satu Malam 27an terasa hangat bahkan cenderung panas, meskipun di luar dingin lantaran diguyur air hujan.
Kopi dan kudapan terhidang, menjadi saksi wacana kompleks tentang seni dan kebudayaan: sebuah project kewarasan di tengah kesadaran cupet dan komunikasi yang macet.
Gino Vanolie, pemerhati budaya dan Kepala Kantor DPD RI Provinsi Lampung, dan Ari Pahala Hutabarat, direktur artistik Komunitas Berkat Yakin, didapuk sebagai pembicara. Dalam pemaparannya, Mas Gino –sapaan akrabnya– menyampaikan power point pemikiran bahwa masyarakat Lampung dan seluruh stakeholder yang terkait (intelektual, budayawan, akademisi, seniman) perlu melakukan dialog produktif untuk membahas Reorientasi dalam segala bidang, utamanya pendidikan, kesenian, dan kebudayaan.
“Pihak kampus, misalnya, seperti abai dan tidak tertarik membicarakan IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Padahal IPM adalah persoalan yang sangat serius,” katanya dengan penuh penyesalan.
Dalam lanskap pendidikan, kiranya perlu dikutipkan ucapan Dr. Muhammad Nur Rizal, seorang tokoh Gerakan Sekolah Menyenangkan yang berfokus pada pembangunan Budaya Pendidikan di Indonesia.
Dalam ceramahnya ia berkata, “Kalau tidak ada revolusi, Indonesia, kata Lant Pritchett; profesor Harvard yang meneliti Indonesia, akan tertinggal 128 tahun. Kenapa kok ini terjadi? Karena budaya pendidikan kita memang bukan memanusiakan, bukan bercondong pada kebutuhan manusia. Pendidikan kita itu masih bercondong pada kebutuhan industri. Industri itu seneng standarisasi. Industri itu seneng kepatuhan. Maka yang diukur adalah administrasi.”
Kalau budaya seperti ini terlalu dominan di dalam pendidikan kita, kata M. Nur Rizal lagi, “Maka fokus kita bukan pada proses belajar murid, bukan pada tumbuhnya potensi keberagaman murid, bukan pada tumbuhnya imajinasi dan curiosity murid, tetapi pada data-data nilai dan data-data itulah yang dipakai untuk menentukan apakah sekolah itu favorit atau tidak. Sekolah itu layak dapat hibah atau tidak. Jadi yang paling penting sekarang ini adalah membangun Budaya Pendidikan, bukan Kurikulum Pendidikan.” Indonesia saja tertinggal satu abad lebih dari Amerika, apalagi Lampung? Sungguh, kutipan panjang lebar yang mampu mengilustrasikan bahwa Budaya pendidikan di Lampung masih sangat rendah dan memprihatinkan.
Sementara itu, Ari Pahala Hutabarat, intelektual berdarah Batak-Lampung, mengutarakan power point pemikiran bahwa masyarakat Lampung dan seluruh stakeholder terkait tak hanya butuh membangun dialog produktif dan reorientasi, tapi juga goodwill dan redefinisi total terkait Apa itu Kebudayaan Lampung.
“Setelah melakukan pemeriksaan dokumen PPKD (Pokok Pikir Kebudayaan Daerah) bersama Arman AZ, seorang pemerhati sejarah dan budaya Lampung, pemerintah daerah tidak serius dalam mengurus atau merumuskan PPKD (Pokok Pikir Kebudayaan Daerah). Banyak PPKD yang cuma kopi paste. Kalau begitu apa kabarnya PPKD yang dibuat di level kabupaten? Padahal PPKD adalah acuan bagi segala jenis aktivitas budaya. “Menyedihkan,” katanya dengan nada “gemes”.
Bang Ari –panggilan akrab– mengatakan bahwa urutan pertama yang harus dimiliki seorang pemimpin, pemangku adat, ilmuwan, intelektual, sejarawan, seniman, pemikir, filsuf atau apa pun namanya adalah Goodwill atau kehendak baik: sebab tanpa Goodwill, seluruh “aksi” atau tindakan atau kegiatan hanya akan berujung pada persoalan material dan kepentingan personal.
Setelah ada Goodwill, kata Bang Ari lagi, barulah ada Imajinasi, kemudian Imajinasi akan melahirkan Visi. Visi melahirkan Strategi, dan strategi akan melahirkan Taktik. Taktik, pada akhirnya, akan melahirkan Aksi atau tindakan atau kegiatan.
“Nah, yang kita lakukan sekarang ini kan apa? Mulai dari level pemerintah sampai ke level kita (intelektual, budayawan, dll) belum sebelum bikin kegiatan. Visi tak ada. Imajinasi tak ada. Apa gunanya?”
Selanjutnya, Ari Pahala pun menyatakan bahwa di kalangan para seniman dan budayawan ada semacam pengkhianatan intelektual. Saling mengkhianati demi urusan perut sendiri. Ngeri!
Maka dari itu, dengan kesadaran yang tidak palsu dan tidak cupet, diskusi dan wacana kritis yang ditawarkan dalam acara “Satu Malam 27an” ini harus terus diadakan demi terbangunnya ekosistem yang sehat dan adi luhung; yang menitikberatkan pada kemajuan kesenian, kebudayaan, kemanusiaan, dan peradaban.
Demikianlah, amarah yang lahir dari akal budi memang belum tentu bisa mengusik atau menjewer telinga oknum-oknum yang materialistik, yang kedap kritik, yang merasa punya kesadaran holistik tapi nyatanya egoistik. Belum bisa membuat oknum-oknum sadar dan akhirnya asyik dan komunikatif. Namun demikian, amarah akal budi harus terus dinyalakan. Seperti kata Arnold Schwarzenegger dalam Film “Terminator 2”, “Lebih baik marah, dari pada putus asa.” Eureka!
***
YULIZAR LUBAY. Aktor teater, fiksionis, dan pemerhati budaya pop. Bergiat di Komunitas Berkat Yakin.