Anton Kurniawan
PADA Agustus yang cerah itu langit sangat terang, matahari yang sudah mulai meninggi mengirim bayang-bayang pohon karet di sekeliling gedung ke atap Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Sukamaju, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung. Ya, memang lokasi sekolah Luar Biasa itu dikelilingi kebun karet yang rimbun.
Ketika itu Kamis, musim hujan yang hampir selesai membawa angin kering Bulan Agustus menuntun gerah dan pengap hampir di semua ruang tunggu.
Pagi hampir habis saat saya bersama Herdi, wartawan lampungbarometer.id, tiba di sekolah yang dikelilingi kebun karet di wilayah Kecamatan Abung Semuli, Kabupaten Lampung Utara itu. Angin kering dan gersang menampar wajah kami tiada henti. Membuat keringat dengan cepat turun dari ubun menuju wajah dan pipi.
Nyaris datang penat, saat seorang siswi berkebutuhan khusus C, D (maaf) dengan langkah payah dan tertatih, setengah berlari menghampiri saya dan menyerahkan selembar kertas bergaris berisi puisi yang dia tulis.
“Pak ini puisi Silfi, bagus nggak,” ujarnya dengan terbata dan nafas tersengal (mohon maaf) karena memang dia selalu sulit ketika berbicara, sambil menyerahkan sebuah puisi berjudul “Keberanian” ciptaannya.
Selfi Khoirotun Nisak namanya, tapi akrab dipanggil Silfi oleh guru dan teman-temannya, buah hati dari pasangan Nur Alimin (43) dan Umi Hasanah (41) yang lahir pada 5 Februari 2007 di Desa Sidomukti, Abung Timur, Lampung Utara. Dia adalah wakil Provinsi Lampung pada tangkai lomba Baca dan Cipta Puisi dalam ajang FLS2N SMPLB/SMALB Tingkat Nasional Tahun 2021.
Semangatnya yang luar biasa, secara langsung menghapus penat dan gerah yang singgah di sekujur tubuh.
Remaja 14 tahun yang didampingi guru dan juga ibu kandungnya itu mendekati saya, mengulurkan tangan untuk bersalaman. Tangannya yang agak sulit digerakkan tidak membuatnya canggung dan putus asa. Dia tampak begitu semangat, mendekat lalu menyebutkan nama, “Selfi Khoirotun Nisak,” ucapnya dengan terputus-putus.
Tubuh saya gemetar, terselip rasa malu pada diri sendiri yang kerap kurang bersyukur pada Allah SWT, Tuhan semesta alam. Bahkan sering bermalas-malas sambil menghapal ribuan keluh kesah.
Peristiwa di Kamis yang kering itu, secara langsung mengajarkan saya tentang keberanian dan keikhlasan sekaligus kekuatan dan kesabaran, yang ditunjukkan Silfi dan guru-guru pendampingnya.
Usai bersalaman dan mengenalkan namanya, remaja berkebutuhan khusus itu mengaku jika untuk menulis puisi berjudul “Keberanian” tersebut dia membutuhkan waktu yang lama dan atas bimbingan gurunya.
“Lama, nulisnya capek. Tapi aku mau juara dan bawa piala, jadi harus tetap semangat,” ucap gadis berkerudung itu tersendat. Sekali lagi, saya mencium aroma keberanian dan semangat yang meletup dari gadis kecil ini.
Sekitar dua jam setelah itu, saya memintanya untuk membaca puisi yang telah selesai dia tulis. Dia pun maju, mengambil posisi dan mulai membacakan puisi dengan nyaris sempurna, gestur dan vokal juga sangat baik.
Amboii, saya terpana. Gadis berkebutuhan khusus C, D yang merupakan siswi SLB Negeri Sukamaju, Lampung Utara, Provinsi Lampung kelas IX itu, tanpa saya duga ternyata mampu melafazkan kata demi kata dan kalimat per kalimat dalam puisi tersebut dengan sangat baik.
Matahari makin tinggi, panasnya makin terik, kami berdiskusi ringan di bawah bayangan pohon sengon. Angin tiba-tiba sejuk dan tak lagi gersang, penat di sekujur tubuhku minggat dengan cepat saat dalam diskusi ringan tersebut, gadis kecil berkebutuhan khusus ini sekali lagi berkata kepada guru pendamping; Dewi, Desi dan Riska yang dengan sabar mendampinginya.
“Ibu, aku mau baca dan nulis puisi, aku mau juara dan bawa piala,” ujarnya. Gurunya mengangguk sambil tersenyum.
“Bisa, tapi Silfi harus semangat latihan dan harus kuat, tidak boleh malas,” ucap ketiga guru pendampingnya hampir bersamaan.
“Iya Bu, Silfi semangat kok, Silfi mau bawa piala,” ucap remaja siswi SLBN Sukamaju Lampung Utara itu dengan mata berbinar.
Lewat tengah hari saat diskusi ringan itu selesai. Langit semakin cerah saat angin sepoi diam-diam merayu daun sengon yang mulai menguning agar turun dari ranting. Saya kembali tertegun dan membatu dengan dada sesak, ketika siswi berkebutuhan khusus itu bersalaman dan pamit pulang bersama ibunya.
“Doakan Silfi juara ya Pak, biar Silfi bisa bawa piala,” katanya, kemudian melangkah tertatih menuju kendaraan yang terparkir dengan dibimbing sang ibu. Saya berdiri memandang hingga bayangannya betul-betul hilang di ujung tikungan.
Setelah itu saya melihat langit semakin cerah dan angin terasa begitu sejuk. Di pucuk sengon beberapa burung kutilang berkicau dan bercengkrama.
Selamat berjuang Silfi, teruslah semangat. Semoga piala yang diidamkan bisa kau bawa pulang.
Lampung Utara, 26 Agustus 2021