Apresiasi Dan InspirasiTokoh Inspirasi

Kisah Mhd. Sanusi, Veteran di Pesawaran yang Pernah Jalan Kaki 4 Hari 4 Malam Untuk Menyergap Musuh di Perbatasan Baturaja

450
×

Kisah Mhd. Sanusi, Veteran di Pesawaran yang Pernah Jalan Kaki 4 Hari 4 Malam Untuk Menyergap Musuh di Perbatasan Baturaja

Sebarkan artikel ini

LAMPUNGBAROMETER.ID – Senin malam di pertengahan Januari itu cukup dingin. Sisa hujan sore menyisakan lembab daun ceri yang berdiri tenang di halaman rumah kelir hijau redup di Dusun Suka Negeri, Desa Bernung, Kecamatan Gedong Tataan, Pesawaran, Lampung. Senin malam, 15 Januari 2024 itu begitu temaram.

Di dalam rumah, dengan khusyuk kami mendengarkan laki-laki pejuang itu berkisah perihal kisahnya yang turut memanggul senjata mempertahankan kemerdekaan dan menjaga kedaulatan NKRI. Dia adalah seorang veteran pejuang 1945 yang turut melawan sekutu yang membonceng NICA yang ingin menjajah kembali Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Muhammad Sanusi nama laki-laki senja itu meskipun di Kartu Masoemi miliknya tertulis nama Mhd. Sanusi. Dia mengaku usianya saat ini 105 tahun. Hebatnya, di usianya yang lebih satu abad, gerak tubuhnya masih “gahar” dan masih bisa bercerita dengan sangat baik; kata-katanya lantang dibarengi diksi yang masih jelas. Sesekali dia bercerita disertai gerakan-gerakan yang sangat emosional.

Pada malam itu, seperti kebanyakan malam yang dia habiskan sebelumnya, dia memakai pakaian seragam kebanggaannya, seragam veteran.

“Hanya inilah tanda-tanda saya kepada negara dan tanda negara kepada saya. Saat ini saya tinggal sendiri, kawan-kawan saya telah lebih dahulu menghadap Sang Khalik,” ucapnya penuh emosi, lalu setetes air bening menyusuri pipinya yang keriput.

MHD. SANUSI. Veteran perang yang mengaku berusia 105 tahun, Mhd. Sanusi menunjukkan Kartu Masoemi yang menyatakan dia sebagai tentara. (Foto: lampungbarometer.id)

Lelaki senja itu sejenak mengusap matanya dengan ujung baju yang dia kenakan, melepas topi, lalu menghisap rokok kreteknya dalam-dalam kemudian kembali bercerita; sesekali dia menggeser duduknya, sesekali berdiri, duduk lagi, kemudian meneruskan ceritanya kembali.

“Umur saya kalau tidak salah 105 tahun, Saya tidak tahu lahir tahun berapa karena dulu tidak ada catat mencatat. Tapi angka 105 ini sesuai dengan perhitungan saya. Dulu saya sering membawakan pantun Lampung, dari situ saya tahu berapa umur saya.

Tahun satu tujuh (17) Isya mulai bertanda, badan serasa runtuh sejak turun ke dunia, sejak turun ke dunia belum ada pikiran ditinggalkan mati…. Badan hina papa dalam Negeri Sakti sukar dicari bandingnya yang namanya Sanusi’. Itu pantunnya yang selalu saya lantunkan,” ujar lelaki senja dengan rambut sewarna awan putih ini. Kali ini, jelas terlihat dia tersenyum.

Dia juga mengisahkan saat pelantikan Presiden Soekarno pada 1950-an dia sudah ikut memanggul senjata melawan penjajah Belanda. Bahkan pada 1949 dia mengaku sudah ikut revolusi. Dia bercerita pada Hari Sabtu, 1 Januari 1949 Pukul 08.00 WIB sekutu yang terdiri dari tentara Inggris dan Belanda datang untuk menjajah kembali kemerdekaan Indonesia yang sudah kita deklarasikan.

“Saat itu dari komando kita berikan perintah pertahankan kemerdekaan kita, merdeka atau mati. Jadi upah perjuangan di tahun itu adalah mati, bukan uang. Mati!,” tegasnya. Suaranya meledak memecah malam yang mulai larut.

Dia bercerita saat agresi Belanda Tahun 1949, bersama 2 peleton pasukan dia mendapat perintah melakukan pencegatan pasukan NICA yang akan masuk ke Baturaja. “Kami diperintahkan secepatnya melakukan pencegatan di perbatasan,” ujarnya.

LEGIUN VETERAN. Mhd. Sanusi menunjukkan Kartu Legiun Veteran Republik Indonesia miliknya saat ditemui di rumahnya di Negeri Sakti Pesawaran. Kartu ini selalu dibawanya kemanapun dia pergi. (Foto: lampungbarometer.id)

Tanpa menunggu, perintah selanjutnya, mereka langsung bergerak menempuh perjalanan selama 4 hari 4 malam melewati bukit, hutan, lembah dan ngarai.

“Kami berangkat dari Ulubelu ke Semuong lalu melewati Bukit Barisan menuju Giham kemudian ke Mutar Alam. Selanjutnya, menyeberang ke Pekon Baru lalu menuju Kenali. Dari kenali baru ke Liwa setelah itu melewati kebun bambu dan jurang hingga sampai di depan masjid Kampung Simpang Sender. Dari Simpang Sender turun ke Pulau Beringin, setelah itu ke Tanjung Lengkayak terus ke Muaradua dan tiba di persimpangan ngambil simpang ke kiri, ke Baturaja,” tuturnya emosional.

“Sampai di sana, semua pasukan langsung siaga dalam posisi siap tempur melakukan pencegatan. Namun, ternyata pasukan Belanda tidak melewati jalur darat tapi melalui jalur udara, sehingga tidak sempat terjadi baku tembak di sana,” ungkapnya, kemudian terbahak.

Dia juga bercerita pernah menemui Bupati dan mengatakan bahwa kemerdekaan adalah daulat rakyat bukan daulat DPR. “Saya bilang dengan Pak Bupati kemerdekaan ini adalah daulat rakyat Pak, bukan daulat DPR, saya minta dengan Bapak dengarkan keluhan rakyat bukan mendengar keluhan Anggota DPR,” katanya.

Saat ini dia sering mengaku sedih, karena di tengah kemerdekaan yang dulu pernah dia perjuangkan bertaruh nyawa, masih banyak penguasa yang bertindak zalim dan menyakiti rakyat.

“Sekarang katanya kita sudah merdeka tapi mengapa masih banyak rakyat miskin yang tidak mendapatkan bantuan beras yang menjadi haknya. Masih banyak rakyat miskin yang tidak dapat bantuan langsung dana desa, padahal Presiden bilang itu untuk rakyat. Saya pernah bertemu Bapak Bupati dan waktu itu saya bilang ‘Bapak Bupati, Bapak ikut saya kita lihat jalan di tempat saya masih tanah, kalau saya bohong Bapak tembak saya di tempat. Setelah saya sampaikan itu kepada Bapak Bupati sebulan kemudian jalan itu diaspal,” ujarnya renyah. Dia tersenyum.

EKSPRESIF. Mhd. Sanusi memperagakan saat dia menerima perintah untuk melakukan penyergapan di perbuatan Baturaja. (Foto: lampungbarometer.id)

Malam itu waktu seperti bergerak begitu cepat. Hampir tengah malam ketika “Tentara Senja” itu mengingatkan harta bukanlah penyebab orang menjadi bahagia, sebaliknya harta kerap kali membawa masalah. Dia juga mengaku telah berpesan kepada anak-anaknya agar tidak gila harta, tapi gila lah pada kebenaran.

“Di dunia ini yang paling sulit adalah belajar tentang kebenaran, tapi belajar jujur itu lebih susah, dan yang paling susah adalah belajar ikhlas.”

Sampai hari ini dia mengaku bangga menjadi seorang veteran dan juga bangga melihat TNI saat ini yang menurutnya tetap tegak lurus menjaga kedaulatan NKRI. Menurut ayah 15 anak ini, anggota TNI sejak dulu tidak banyak berubah.

“Biasanya bagi yang sudah berkeluarga, mereka akan berhutang di warung dari bulan ke bulan untuk mencukupi kebutuhan. Di awal bulan biasanya mereka akan membayar hutang di warung kemudian bulan selanjutnya berhutang lagi, seperti itulah. Tapi kalau ada program AMD (ABRI Masuk Desa), TNI yang pertama bergabung dengan rakyat membangun desa,” katanya. Terlukis rasa bangga di binar matanya.

Dia mengaku dulu di era Korem masih bernama divisi, pernah orang berbaju tentara mengunjunginya. Setelah Divisi berganti nama menjadi Resimen 6 kemudian berubah menjadi Korem, dia mengatakan belum pernah ada lagi yang datang mengunjunginya.

Mhd. Sanusi, sang Veteran, juga berpesan kepada para pejabat dan petinggi agar jangan melupakan rakyat, sebab rakyatlah yang berdaulat dan rakyat jualah yang membuat bangsa ini hebat.

“Jangan lupakan rakyat, karena semua berasal dari rakyat dan akan kembali kepada rakyat. Meskipun kita hari ini kita menjabat, kelak kita akan kembali menjadi rakyat, maka jangan main-main ketika jadi pejabat. Pasang niat yang baik, berbuat yang baik kepada semua orang. Jangan membeda-bedakan karena Tuhan Mahamelihat dan Mahamendengar. Dulu kami berjuang merebut kemerdekaan, sekarang kita sudah merdeka. Tidak ada cerita sekarang kalau tidak ada cerita lama,” ujarnya lantang memecah kepingan hujan yang tersisa di lembar daun ceri. (AK)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *