Adhidaiva
Oktober kembali mendatangiku
seperti waktu lalu, membawa muram dan sunyi
Pada wajahnya, daun-daun beranjak coklat mengering dan berjatuhan
Aku menggigil
saat dinginnya memelukku erat dan berbisik
“Esok, engkaulah daun-daun itu
mengering
gugur
dan sepi
Ida
Dari langit angsa-angsa turun
lalu berenang di kepalaku
sebab di negerinya danau danau mengering
Aku menjelma danau
dan angsa-angsa riang berenang
berputar selayak Rumi
mencipta pusaran air yang deras
Engkau menjadi ikan
kusaksikan engkau mabuk di pusat danau
angsa-angsa girang berebut mangsa
engkau nyaris binasa
Dan aku begitu sedih
juga terluka
Batara Kala
Selalu lelaki tua yang bersemayam di pikiranku menjejaliku cerita-cerita usang tentang kisahnya sendiri
Hampir aku mampus dilahap bosan
setiap waktu ia dongengkan tentang Tuhan tentang hantu
tentang doa doa
tentang dosa dosa
tentang surga-surga
tentang malaikat-malaikat
tentang kertas kosong dan tangisan
“Katakan, kisah mana yang kau sukai” katanya
“Tak ada, sebab aku telah menyiapkan kisahku sendiri yang akan aku ceritakan kelak,” jawabku
Dia tertawa
dan perlahan aku disergap khawatir akan kisahku sendiri.
Maeswara
Mestikah aku cukupkan dulu mencintaimu
dan ingatanku akan lapang
karena selalu kau datang menulis banyak rencana
pada kaca jendela, lantai, kursi dan meja
juga melukis warna-warna pada
langit di kepalaku yang tidak biru
padahal aku semata hanya berencana
hidup di matamu dengan bahagia
meski kau senang bermimpi dan melukis
tentang kesedihan
“Aku ingin bermimpi dan melukis kesedihanmu jika aku pergi,” katamu
Dan aku hanyut diseret deras air mata
Janvier, Tu Es Venu
“Meski hidup adalah derita yang tak pernah sudah, malam ini aku tulis perihal Januari dan segelas kopi panas dengan bahagia”
bisikku di pangkal tahun yang basah itu.
Sesaat, seluruh perih luka menguap bersama hangatnya.
Selain Tuhan dan ketiga kucingku, malam ini aku mengingat tentang yang mati.
Nyala lilin dan ratusan kunang beterbangan menuju rumahmu
Aku tau, mereka tercipta dari doa-doa tulus yang kau panjatkan
berharap Tuhan menangkapnya dan dimasukkan dalam toples agar engkau tahu sudah berapa kali Januari ini berkunjung.
Kukira ini bukan tentang usia yang menyeret kita ke hari tua
atau tentang kelahiran dan dikuburkan
tapi tentang nyala lilin yang sebentar lagi padam
dan kau harus melanjutkan kisah yang kau tulis walau di kertas usang
Tak perlu khawatir karena Tuhan tetap akan membacanya dan ratusan kunang-kunang akan menunjukkan arah pulang meninggalkan Januari yang dingin
Dan di segelas kopi ini telah kita sepakati tentang janji yang kita tuang setetes demi setetes.
Catatan: Foto ilustrasi diunduh dari internet
Nurul Mufidah, mahasiswi FKIP Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Program Studi Pendidikan Kimia, Universitas Lampung dan berproses aktif di UKMF KSS FKIP UNILA.
———-
Buat Kamu-Kamu pelajar atau mahasiswa yang keren dan kreatif, yang mau karya-karyanya dipublikasikan di Media Online lampungbarometer.id, silahkan kirim karya-karyamu; puisi, cerpen, atau cerita anak ke alamat Email: redaksi@sementara.biz.id. Karya kamu yang beruntung akan diposting pada Hari Minggu.