KOMUNIKASI dan kolaborasi menjadi kata kunci dalam diskusi bulanan bertajuk Satu Malam 27an. Diskusi yang digagas Kaula, UKMBS Unila, Kober, dan Lampung Kultur tersebut kembali digelar di lantai satu Graha Kemahasiswaan Universitas Lampung, 27 Februari 2023.
“Ekosistem Seni Budaya: Lokal dan Nasional” menjadi tema diskusi malam itu dan dibedah selama tiga jam dengan iringan hujan lebat di luar.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia Drs. Fitra Arda, M.Hum., mewakili Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, Ph.D., dihadirkan sebagai pembicara, di samping dua pembicara lainnya, Ari Pahala Hutabarat (Direktur Artistik Komunitas Berkat Yakin) dan Solihin Ucok (Ketua Dewan Kesenian Metro).
Sebelum diskusi yang dipandu Junior De Santoz dimulai, Orkes Bada Isya terlebih dahulu menampilkan dua lagu pembuka untuk menyambut peserta diskusi yang memiliki beragam latar belakang: mulai dari pejabat kampus sampai para seniman dan aktivis kultural: sekumpulan kaum yang bisa disebut intelektual.
Fitra Arda, malam itu mengenakan kacamata dan topi hitam, menyampaikan komunikasi dan kolaborasi antar organ/elemen/lembaga perlu dibangun. Hal tersebut perlu dilakukan bukan semata karena keuntungan ekonomi, melainkan karena keuntungan sosial (social return). Bukan hanya kapital ekonomi, melainkan juga kapital budaya dan kapital sosial.
“Sudah semestinya kita berkolaborasi dan membangun komunikasi dalam forum. Basilang kayu dalam tungku, di sinan api mangko hiduik (Bersilang kayu dalam tungku, di sana api akan hidup,” kata Fitra Arda dalam logat Minang yang kental.
Selanjutnya, Fitra Arda pun menyampaikan bahwa selama 3 tahun (2020, 2021, 2022), Dirjen Kebudayaan, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, telah pula mengucurkan Dana Alokasi Khusus Non Fisik masing-masing sekitar Rp 2 miliar (1 s/d 2 miliar) untuk Taman Budaya dan 2 Museum yang ada di provinsi Lampung.
Dana tersebut dipakai untuk merancang program budaya dan membangun manusia (kultur), bukan membangun gedung yang bersifat fisik belaka (infrastruktur). “Dana sudah langsung ditransfer oleh Kementerian Keuangan kepada pihak-pihak yang bersangkutan,” kata Fitra Arda.
Informasi yang sangat berharga dan mencerahkan, tapi sayangnya banyak pelaku seni dan budaya di Provinsi Lampung tercinta tidak tahu dan tidak ikut terlibat di dalamnya.
Terkait ketidaktahuan para pelaku seni dan budaya mengenai Dana Alokasi Khusus (DAK) tersebut, Fitra Arda berjanji akan melakukan evaluasi dan menghubungi pihak-pihak yang terkait. “Saya akan melakukan evaluasi terkait hal ini,” kata Fitra Arda lagi.
Faedah dan fungsi kehadiran Fitra Arda dalam diskusi malam itu jelas belaka, yaitu agar Dirjen Kebudayaan mengetahui langsung bagaimana situasi ekosistem seni budaya di Lampung yang mungkin di mata Pusat baik-baik saja, tapi realitanya sebaliknya.
Terkait persoalan itu, Ari Pahala Hutabarat, intelektual berdarah Batak-Lampung, mengaku kaget dan kecewa. Meskipun kekecewaan itu tidak melulu ditujukan kepada pemerintah daerah atau Taman Budaya Lampung, tapi ditujukan pula kepada para seniman, budayawan, dan sekalian kaum intelektual. Malam itu Ari Pahala juga melakukan otokritik kepada pelaku seni dan budaya.
“Saya menyebut seniman dan budayawan sebagai kaum intelektual. Lah, untuk kasus macam (DAK) ini saja para intelektualnya cuek. Tidak peduli. Mau bagaimana lagi? Intelektual cuek, pemerintah yang dalam istilah saya, saya sebut panitia, juga cuek. Sama-sama cuek. Maka selesailah sudah,” katanya dengan nada marah tapi cenderung reflektif seperti nada diskusi sebelumnya yang telah digelar pada 27 Januari 2023.
Mendengar paparan Ari Pahala, Solihin Ucok setuju. Ketua Dewan Kesenian Metro yang sekaligus penyair dan guru itu pun banyak mengafirmasi refleksi atau pemikiran Ari Pahala.
Sementara itu, Arman AZ, aktivis kultural dan salah satu peserta diskusi malam itu, turut menyampaikan evaluasi yang ditujukan kepada pemerintah daerah (Disdikbud Provinsi Lampung), terutama terkait keseriusan pemerintah dalam pembuatan PPKD (Pokok Pikir Kebudayaan Daerah).
Dialog terus berjalan dan tak terasa telah berlangsung selama tiga jam. Waktu berputar-putar di lantai Graha Kemahasiswaan Unila, seolah menuntut agar diskusi bertajuk “Satu Malam 27an” itu tetap konsisten dilakukan di Unila, lantaran Unila memiliki visi dan misi yang berlandaskan budaya:
“Universitas Lampung menjadi Center of Excellence di Tingkat Nasional dan Internasional sebagai Institusi yang kuat berlandaskan nilai-nilai luhur budaya Nasional dan Pancasila”.
Dari visi dan misi itulah api diskusi “Satu malam 27an” diharapkan akan terus menyala. Lain dari pada itu, Unila atau Perguruan Tinggi pada umumnya adalah Civil Society yang wajib menjaga naik-turunnya IQ bangsa ini.
Demikianlah, untuk melahirkan ekosistem, Sakai Sambayan (gotong royong) di ranah kesenian dan kebudayaan harus dibangun dengan keterbukaan tanpa basa-basi, tanpa pengkhianatan intelektual yang dapat merendahkan martabat dan harga diri. Semua elemen/komponen/organ/lembaga harus terlibat, harus menyatukan visi. Tidak bisa tidak.
Maka dari itu, sebagai ilustrasi dan penutup, mungkin perlu dikutipkan potongan pidato kebudayaan Buya Syafii Maarif yang pernah beliau sampaikan di Dewan Kesenian Jakarta pada 2005 silan. Dalam pidatonya itu almarhum Buya Syafii pernah berkata:
“… Dengan kaca mata moral inilah kita dapat mengatakan apakah seorang intelektual berkhianat, tertipu, terpaksa, naif, atau tidak paham medan pergumulan sehingga salah mengambil langkah, misalnya. Kemudian atribut lain yang perlu ditambahkan bagi seorang intelektual, di samping terpelajar, dia harus punya kepekaan dan komitmen terhadap masalah-masalah besar yang menyangkut manusia dan kemanusiaan, tanpa diskriminasi. Dalam ungkapan lain, hati nuraninya harus hidup, peka, dan berfungsi secara prima.”
Semoga!
***
Yulizar Lubay, aktor teater, fiksionis, dan pemerhati budaya pop. Bergiat di Komunitas Berkat Yakin.