Artikel Dan Opini

Revitalisasi Budaya: Revitalisasi Bahasa

81
×

Revitalisasi Budaya: Revitalisasi Bahasa

Sebarkan artikel ini

Yulizar Lubay

“MASA Depan Bahasa Lampung?” adalah tajuk provokatif dan problematik yang sengaja dipilih KOBER dan Kaula berikut segelintir intelektual, seniman, dan aktivis budaya di Lampung atas pertimbangan yang saksama; bahwa bahasa Lampung sebagai produk budaya sedang tidak baik-baik saja; sedang dalam keadaan rawan; bahkan sedang menuju kepunahan.

Tajuk diskusi tersebut telah digelar oleh Majelis 27an dan sudah berlangsung pada Sabtu malam (27/04/2024) di lantai 1 Graha Kemahasiswaan Unila dengan Orkes Bada Isya sebagai grup musik pembuka.

Majelis 27an menghadirkan Pak Iqbal Hilal (Kaprodi Pendidikan Bahasa Lampung) dan Bang Ari Pahala Hutabarat (Budayawan) sebagai pembicara serta Edi Siswanto (Akademisi Unila) sebagai moderatornya. Hadir pula di dalam majelis beberapa intelektual dan seniman, di antaranya Gino Vanoli, Neri Juliawan, Erwin Putubasai, Edy Samudra, Urip SP, Ahmad Mufid, Ahmad Thohamudin, dan lain-lain.

Dalam diskusi tersebut, atas responnya terhadap tajuk di atas, Pak Iqbal masih merasa optimis bahwa bahasa Lampung tidak akan terancam punah. Namun, demikian, setelah itu Pak Iqbal segera pula mengatakan bahwa kita semua tetap harus bersikap waspada. Beliau berkata bahwa yang harus dilakukan pertama kali oleh orang Lampung (yang bersuku Lampung maupun bukan) adalah memperbaiki sikap berbahasa, karena berbahasa adalah soal habit atau kebiasaan, katanya.

Orang Lampung yang tinggal di tanah Lampung harus mau praktik berbahasa Lampung. Tidak bisa tidak. Jangan hanya berhenti di niat, tapi tidak pernah mau mempraktikkannya. Sikap berbahasa inilah yang menurut Pak Iqbal menjadi problem utama bahasa Lampung berada dalam posisi rawan dan terancam punah. Memperbaiki sikap berbahasa artinya akan memperbanyak lahirnya penutur dan memperbanyak peristiwa bahasa Lampung. Perbaiki sikap bahasa, perbanyak penutur, dan perbanyak peristiwa bahasa, katanya berulang-ulang dan penuh penekanan.

Selain itu, beliau pun menambahkan bahwa Orang bersuku Lampung harus bergaul sampai ke “Tengah”. Benar-benar ke Tengah. Tidak boleh tanggung. Harus bermanfaat. Harus muncul. Harus gaul. Harus pintar. Harus jadi pusat perhatian. Karena inilah prinsip sesungguhnya dari Nengah Nyappur, katanya.

Sementara itu, Bang Ari Pahala Hutabarat, atas responnya terhadap tajuk atau tema di atas, mengatakan dengan hati-hati bahwa dirinya tak berani optimis maupun pesimis. Beliau memilih sikap langsung-waspada terhadap tema yang sedang dibicarakan; sikap yang kurang lebih sama dengan sikap kedua yang diambil Pak Iqbal Hilal.

Bang Ari, demikian sapaan akrabnya, berargumen bahwa keoptimisan (sementara ini) baru dapat diberikan kepada dunia sepak bola Indonesia; khususnya Timnas U23 yang baru saja mengalahkan Republik Korea dengan perjuangan yang tak mudah. Namun untuk konteks budaya; dalam hal ini bahasa Lampung, katanya, “saya dan kita semua harus mengambil sikap hati-hati dan waspada.”

Harus ada sinergi dan usaha sangat serius dari berbagai pihak (individu maupun kelompok) untuk mengurusi pertahanan budaya kita; pertahanan bahasa Lampung sebagai salah satu produknya; dalam rangka menahan gempuran atau serangan budaya dan bahasa lain di luar budaya dan bahasa Lampung. Harus ada, misalnya dari lanskap ekonomi, pemaksaan secara struktural dari pemerintah (mulai level gubernur sampai level lurah) bahwa yang mencari kerja di Lampung (pegawai negeri maupun swasta) wajib menggunakan bahasa Lampung. Maka, kalau sudah begitu, akan lahir dan menjamurlah tempat-tempat kursus bahasa Lampung.

Banyak lanskap atau lambaran atau medium yang bisa digunakan untuk memajukan budaya dan bahasa Lampung. Dalam lanskap pendidikan, misalnya untuk pelajar (SD-SMA), ketimbang hanya menuliskan aksara yang menyasar kognisi saja, ada baiknya dinas dan instansi terkait (khususnya para guru) menciptakan peristiwa bahasa melalui drama pendek berdurasi 5 sampai 10 menit. Dengan drama atau teater berbahasa Lampung, pelajar/peserta didik akan lebih aktif berbahasa dan akan langsung menyasar emosi atau afeksi mereka; dan terciptalah peristiwa percakapan di sana.

Lain dari itu, Bang Ari pun mengatakan bahwa manusia Lampung harus memiliki sistem keyakinan yang hidup dalam dirinya, yaitu Think Globally, Act Locally yang pertama kali dicetuskan oleh Patrick Geddes pada 1915. Dari sistem keyakinan semacam itu, menurut Bang Ari, seharusnya manusia Lampung memiliki pengetahuan yang luas (skemata global) dalam berbuat untuk kampung Lampung tercinta (etika lokal). Pintar, tapi tetap menjaga Etika Kelampungan; Nemui Nyimah, Nengah Nyappur, Sakai Sambayan, dan seterusnya, dan sebagainya.

Demikianlah, diskusi berjalan kurang lebih selama tiga jam dan menjadi lebih hidup karena adanya sesi tanya-jawab. Peserta diskusi tampak antusias menyampaikan pertanyaan dan tanggapan-tanggapan mereka. Ada yang setuju dengan pembicara, ada yang tidak. Satu hal yang wajar terjadi dalam dinamika dan dialektika budaya. Dan perbedaan tersebut segera didamaikan oleh dua lagu klasik Lampung yang dibawakan dengan hanggum oleh anggota divisi musik UKMBS Unila.

Semoga Majelis 27an bisa terus diadakan dan menjadi media silaturahmi untuk membicarakan kebudayaan. Majelis 27an; majelis kebudayaan; majelis para pengagum Keindahan. (*)

YULIZAR LUBAY, fiksionis dan aktor Komunitas Berkat Yakin, pengasuh teater dan sastra di UKMF KSS FKIP Unila. Tinggal di Bandar Lampung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *