Bandar Lampung (LB): Jurnalis senior Lampung Juniardi, S.H., M.H. menanggapi pernyataan pengacara muda dan akademisi Provinsi Lampung Gindha Ansori Wayka terkait karya jurnalistik (berita) yang menggunakan ‘potret’ tokoh masyarakat, tokoh agama, kepala desa, camat, kepala dinas, bupati, gubernur, presiden tanpa izin meskipun foto tersebut telah beredar di platform media sosial padahal konten pemberitaannya belum dibuktikan, bisa terkena tindak pidana.
Menurut Juniardi, karya jurnalistik tidak bisa dipidana dan harus diselesaikan melalui Dewan Pers. Kesimpulan itu, ucapnya, berdasar kesepakatan Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Pers yang memiliki sifat kekhususan yang sama.
“Artinya sepanjang karya pers yang dilakukan dengan kaidah jurnalistik, yang di dalamnya telah melalui proses layak berita sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999 Pers, bukan media sosial (UU ITE). Jangan takuti-takuti wartawan dan media dengan ancaman pidana yang sebenarnya hanya bermaksud melindungi kepentingan atau pesanan penguasa. Harus bisa dipahami juga mana kepentingan private dan kepentingan publik, mana rahasia private dan rahasia negara,” ujar alumnus Magister Hukum Universitas Lampung ini, Senin (19/2/2024).
Juniardi juga mengatakan dalam pemahaman umum diketahui secara norma pers merupakan institusi sosial dan sarana massa yang berpijak di atas nilai-nilai peradaban bangsa. Menurutnya, kemerdekaan pers menjadi salah satu pilar demokrasi sehingga konstitusi menjamin setiap warga negara mengeluarkan pikiran dan pendapat melalui media pers.
“Era kini secara umum saya katakan jaminan hukum atas kemerdekaan pers sudah jauh lebih baik, tapi memang dalam kenyataannya justru muncul berbagai tragedi yang mengurangi nilai independensi pers itu sendiri. Termasuk ada pula upaya-upaya menghalangi langsung dan tidak langsung secara fisik maupun verbal kepada praktisi pers,” ucap Wakil Sekretaris JMSI Lampung ini.
Koreksi Internal
Selanjutnya Juniardi juga menyinggung terkait koreksi internal. Juniardi menyampaikan pers yang tidak profesional juga menjadi pemicu istilah anarkisme pemberitaan saat ini, seperti jurnalisme anarki, jurnalisme provokasi, jurnalisme penghujatan, jurnalisme “preman”, dan lain-lain sinisme yang tidak mengenakkan.
Dia menjelaskan idealnya terbukanya koridor kemerdekaan pers saat ini, tidak menyebabkan pers berada dalam euforia kebebasan pers secara berlebihan. Sebab, ujarnya, kebebasan pers sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) tidak terlepas dari adanya tanggung jawab.
“Namun, tanggung jawab bukan sensor preventif atau pembredelan oleh pemerintah atau tindakan-tindakan ekstra judisial lainnya. Prof. Edy Rifai dalam bukunya ‘Tindak Pidana Pers’ menyarankan pembatasan terhadap kebebasan pers harus ditentukan secara limitatif oleh peraturan perundang-undangan dengan ketentuan yang jelas dan tegas, salah satunya pengaturan tentang tindak pidana pers dalam KUHP,” tegasnya.
Dia juga membeberkan tindak pidana pers dalam KUHP bukanlah suatu tindak pidana yang diatur dalam bab tertentu, melainkan tersebar di beberapa pasal dalam KUHP, dalam hal tindak pidana tersebut dilakukan dengan menggunakan sarana pers.
Selain itu, Juniardi juga membeberkan tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut: Penyiaran kabar bohong (Pasal XIV dan XV UU No. 1 Tahun 1946); Pembocoran rahasia negara dan rahasia pertahanan keamanan negara (Pasal 112 dan 113 KUHP); Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, terhadap Raja atau Kepala Negara Sahabat, dan terhadap wakil negara asing (Pasal 134, 134 bis, 137, 142, 143 dan 144 KUHP);
Permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah, terhadap agama dan terhadap golongan (Pasal 154, 155, 156, 156a, dan 157 KUHP); Penghasutan (Pasal 160 dan 161 KUHP).
Penawaran tindak pidana Pasal 162 dan 163 KUHP; Penghinaan terhadap penguasa atau badan umum (Pasal 207 dan 208 KUHP); Pelanggaran kesusilaan (Pasal 282 KUHP); Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang (Pasal 310, 311, 315 dan 316 KUHP); Pemberitahuan palsu (Pasal 310 KUHP); Penghinaan atau pencemaran nama orang mati (Pasal 320 dan 321 KUHP); Pelanggaran ketertiban umum (Pasal 519 bis, 533 dan 535 KUHP).
“Pasal-pasal di atas menyebabkan terdapat pengelola penerbitan pers yang diajukan ke pengadilan. Pada masa Orde Baru banyak wartawan dijatuhi pidana juga izin terbitnya dicabut. Memasuki era reformasi terjadi perubahan, dimana tidak ada lagi pencabutan izin terbit dan wartawan tidak semuanya dikenakan pemidanaan.”
Dia mencontohkan dalam kasus Majalah TEMPO, Bambang Harimurti sebagai Pemred dibebaskan dari dakwaan, sedangkan dalam kasus Majalah Playboy, Erwin Arnada sebagai Pemred dijatuhi pidana.
Untuk wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang, ungkap Juniardi terdapat pula kasus pengajuan wartawan ke pengadilan dengan dakwaan melakukan tindak pidana pers, antara lain kasus penistaan atau fitnah melalui tulisan oleh Dar dan Bud (Pemred dan Wartawan Tabloid Mingguan KORIDOR) terhadap saksi korban Alz dan Ind (Perkara No: 612/Pid.B/2004/PN.TK).
Para terdakwa dijatuhi pidana, tetapi pada tingkat banding, Putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang No. 29/Pid/2005/PT.TK. menyatakan dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima. Oleh karena itu, terhadap putusan Pengadilan Tinggi tidak dilakukan upaya hukum kasasi,” tutur Juniardi.
Artinya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, penyelesaian sengketa pers dapat diselesaikan dengan tahapan-tahapan, misalnya Hak Jawab yang dijelaskan dalam Pasal 5 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yaitu: “Pers wajib melayani Hak Jawab”.
Dan terkait pengertian dari hak jawab telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 11 yakni : “Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap
pemberitaan berupa fakta yang merugikan
yakni:
“Keharusan melakukan koreksi atau
ralat terhadap suatu informasi, data, fakta,
opini, atau gambar yang tidak benar yang
telah diberitakan oleh pers yang
bersangkutan”.
Sedangkan dalam Pasal 10 Kode Etik
Jurnalistik juga menjelaskan : “Wartawan
Indonesia segera mencabut, meralat, dan
memperbaiki berita yang keliru dan tidak
akurat disertai dengan permintaan maaf
kepada pembaca, pendengar, dan atau
pemirsa.
Apabila hak-hak tersebut telah digunakan oleh pembaca atau masyarakat, maka tidak boleh lagi dilakukan tuntutan atau gugatan perdata terhadap pers. Sebab jika mekanisme ini dibolehkan maka kebebasan pers akan kembali tersungkur.
“Kekinian, sudah ada nota kesepahaman Polri dengan Dewan Pers yang menyatakan kerja jurnalistik harus diselesaikan di ranah Dewan Pers. Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo sudah mengeluarkan maklumat tidak boleh membatasi kebebasan pers dan berpendapat di muka umum, dengan catatan bukan ujaran kebencian bernada SARA.”
“Artinya sepanjang memenuhi kode etik jurnalistik, media tidak perlu risau karena dilindungi Undang-Undang Pers dan mendapat jaminan konstitusional. Segala bentuk karya jurnalistik yang dipermasalahkan akan diselesaikan Dewan Pers, sedangkan yang bukan kerja jurnalistik bisa ditangani langsung Polri,” pungkasnya.
Sebelumnya, diberitakan Gindha Ansori Wayka, tokoh muda, akademisi dan praktisi hukum di Provinsi Lampung berbicara terkait banyaknya pemberitaan (karya jurnalistik) menggunakan karya fotografi dengan objek manusia (potret) dari sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama, termasuk kepala desa, camat, kepala dinas, bupati, gubernur bahkan presiden meskipun beredar di platform media sosial tanpa izin, padahal konten pemberitaannya belum dibuktikan.
“Akhir-akhir ini marak karya jurnalistik (berita) yang mengandung unsur pidana, disadari atau tidak oleh pemilik/pewarta yang tersebar dengan menggunakan potret seseorang baik hasil editan atau potret asli yang dapat menyebabkan seseorang menjadi tercemar nama baiknya di masyarakat hanya dengan melihat judul dan potret yang ada dalam berita tersebut,” ucap Gindha Ansori. (**)
Tidak ada komentar