Bandar Lampung (LB): Penyakit yang membunuh wartawan adalah malas menulis berita, enggan menggali informasi serta tidak punya imajinasi dan hanya menunggu rilis.
Demikian disampaikan Pengurus JMSI Provinsi Lampung yang juga sebagai Pengurus PWI Pusat, Nizwar Gazali, saat menjadi pemateri dalam kegiatan Pra Uji Kompetensi Wartawan (Pra UKW) yang diselenggarakan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi Lampung di Hotel POP Bandar Lampung, Kamis (16/11/2023) malam.
“Malas menulis berita, tidak punya imajinasi dan hanya menunggu rilis saat konferensi pers atau menunggu rilis dari instansi penyelenggara kegiatan adalah penyakit yang membunuh wartawan. Bagaimana melawannya adalah gigih bertanya saat konferensi pers serta membangun imajinasi saat mengikuti kegiatan yang sifatnya resmi,” ujar Nizwar.
Oleh sebab itu, dia mengingatkan seorang yang mengaku wartawan harus bisa menulis berita dan tidak boleh malas serta melaksanakan kerja jurnalis berdasarkan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik.

“Profesi wartawan adalah profesi yang mulia dan tidak ringan, karena kerjanya adalah memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat,” ungkapnya.
Nizwar juga menyampaikan kemampuan seorang wartawan harus terus diasah, sebab kualitas berita yang ditulis sangat menentukan kualitas wartawan tersebut. Dalam.menulis berita, ujarnya, seorang wartawan paling tidak menulis berdasar minimal dua narasumber.
“Haram hukumnya menulis berita hanya dengan satu narasumber, minimal dua narasumber, tidak boleh hanya satu,” tegasnya.
Dalam pemaparannya, dia juga menyoroti pentingnya etika bagi seorang wartawan dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik. Menurutnya, etika seorang wartawan merupakan hal terpenting dalam melaksanakan tugas peliputan.
“Wartawan harus punya attitude yang sangat baik, punya etika komunikasi serta menghargai privasi calon narasumber,” katanya.
Selanjutnya dia juga menyampaikan terkait embargo pemberitaan, yakni menunda memberitakan sambutan yang akan disampaikan seorang tokoh atau pejabat sampai sambutan tersebut selesai disampaikan.
“Misalnya begini, ada kunjungan pejabat atau kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, dan kita sudah mendapat kisi-kisa atau sambutan yang akan disampaikan. Kita harus menunda dan tidak boleh merilis berita hingga sambutan selesai dibacakan,” ucapnya.
Sementara itu, Juniardi menjelaskan bahwa seorang wartawan tidak boleh baperan dan emosional saat melakukan peliputan karena dapat mengalihkan fokus berita yang akan ditulis.
“Misalnya kita sedang mengejar berita terkait korupsi, lalu pejabat yang akan kita mintai tanggapan tidak bersedia ditemui atau sulit ditemui, maka kita harus mencari cara supaya bisa bertemu dan melakukan wawancara. Jangan sampai hanya gara-gara tidak ketemu, lalu kita secara emosional misalnya menulis berita ‘Pejabat A Arogan dan Enggan Bertemu Wartawan’. Hal-hal seperti ini layak juga menjadi perhatian kita sebagai wartawan,” ujar Juniardi. (AK)
Komentar